Jihan masih dalam proses pemulihan di rumah sakit, dan meskipun tubuhnya berangsur membaik, mentalnya masih rapuh. Setiap hari terasa berat baginya, terutama karena ia mulai merasakan dampak dari cedera yang dialaminya.
Perasaan putus asa sering muncul, dan bahkan melihat Stevan datang setiap hari tidak cukup untuk mengusir kegelapan yang menyelimuti hatinya.
Suatu pagi, orang tua Stevan datang untuk menjenguk Jihan. Mereka sudah mendengar kabar tentang kecelakaan yang menimpa gadis yang berarti begitu banyak bagi putra mereka, dan mereka merasa perlu untuk datang memberikan dukungan.
Begitu memasuki ruangan, mereka melihat Jihan terbaring lemah di tempat tidur, wajahnya pucat, dengan mata yang terlihat lelah dan kehilangan semangat. Bunda Stevan mendekati Jihan dengan lembut, duduk di samping ranjang, dan menggenggam tangannya.
"Jihan, sayang, bagaimana kondisimu?" tanyanya dengan suara lembut, penuh kasih sayang.
Jihan hanya mampu mengangguk pelan, air mata mulai menggenang di matanya. Pandangannya mengarah ke langit-langit, tidak mampu menatap siapa pun secara langsung. Air mata mulai mengalir deras di pipinya, dan ia tidak mampu berkata apa-apa.
Ayah Stevan menepuk pundak putranya, lalu menatap Jihan dengan mata penuh simpati. "Kamu anak yang kuat, Jihan. Kami tau ini sangat berat, tapi kami semua ada di sini untukmu."
Jihan menggigit bibirnya, berusaha menahan isak tangis, tetapi semua perasaan yang ia pendam selama ini tumpah dalam bentuk air mata. Ia hanya bisa menangis, sementara orang tua Stevan dan Stevan sendiri mencoba menenangkannya. Bunda Stevan mengelus rambutnya pelan, membisikkan kata-kata yang menenangkan, berharap Jihan bisa merasakan bahwa ia dikelilingi oleh orang-orang yang peduli padanya.
"Sayang, mama disini. Jihan lekas sembuh ya?"
***
Hari-hari berlalu, dan Stevan tetap setia mendampingi Jihan di rumah sakit. Setiap pagi, dia datang membawa setangkai bunga matahari segar, meletakkannya di nakas meja samping tempat tidur Jihan. Bunga matahari itu menjadi simbol dukungan dan harapan Stevan untuk Jihan, seolah ia berharap warna cerah dari bunga itu dapat menghidupkan kembali semangat yang memudar dalam diri gadis itu.
Namun, setiap kali melihat bunga-bunga itu, Jihan hanya bisa menatapnya dengan perasaan yang semakin hampa. Di dalam hatinya, ia merasa semakin tenggelam dalam perasaan tidak berguna. Hari-hari yang diisinya hanya dengan berbaring di tempat tidur membuatnya merasa terasing dari dunia.
Suatu malam, saat Stevan sedang duduk di sampingnya, menggenggam tangannya dengan lembut, Jihan akhirnya berbicara. Suaranya pelan, hampir seperti bisikan, namun cukup bagi Stevan untuk mendengar setiap kata yang ia ucapkan.
"Kak... aku capek. Aku pengen ikut bunda sama ayah... Aku nggak kuat lagi..." ucapnya dengan suara bergetar, sementara air mata mulai mengalir lagi di pipinya.
Stevan terkejut dan merasakan jantungnya serasa berhenti berdetak. Kata-kata Jihan itu membuatnya panik, menyadari betapa rapuh kondisi mental gadis itu saat ini. Dengan cepat, Stevan menggenggam tangan Jihan lebih erat, seolah ingin menahannya agar tidak pergi ke mana pun.
"Han, jangan ngomong kayak gitu. Kamu nggak sendirian, aku di sini, aku bakal selalu ada buat kamu," ujarnya dengan suara penuh rasa cemas dan kesedihan. "Aku tau ini berat, tapi kamu jauh lebih kuat dari yang kamu kira. Kumohon, jangan menyerah..."
Jihan hanya menatapnya, tapi tidak membalas kata-kata Stevan. Mata Jihan menunjukkan betapa dalam rasa putus asanya. Namun, di sana juga ada sedikit keraguan--seolah-olah, meski ia lelah, ada bagian dari dirinya yang ragu untuk benar-benar menyerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
✅Bergala Bunga Matahari | Kim Soohyun Kim Jiwon
FanfictionBatal menikah membuat Stevan melampiaskan kemarahannya pada minuman keras, hingga tengah malam tiba, ia terlibat dalam kecelakaan yang merenggut nyawa seorang lelaki tua. Dalam kekalutannya, seorang gadis muda malah mengulurkan sebotol air minum ali...