buat yg kelewatan part sebelumnya, dibaca dulu ya.
---
Stevan duduk di sofa kecil di ruang tamu rumah Jihan, suasana hening menemani malam mereka setelah makan malam yang sederhana namun hangat.
Jihan sedang sibuk di dapur, menyelesaikan cucian piring, dan Stevan terdiam, merenungi segala hal yang telah terjadi.
Hampir setahun berlalu sejak kecelakaan tragis itu, sejak ia bertemu Jihan. Awalnya, hubungan mereka memang hanya berlandaskan rasa tanggung jawab. Namun, seiring berjalannya waktu, Stevan merasakan sesuatu yang lebih dalam, lebih tulus tumbuh dalam dirinya.
Jihan kembali dari dapur, duduk di sebelah Stevan, merasakan ada sesuatu yang mengganjal di benak pria itu. "Kak, kamu kelihatan mikirin sesuatu. Ada yang mau dibicarain?" tanyanya lembut.
Stevan menoleh, ragu-ragu. Ia sudah terlalu lama memendam perasaannya, perasaan bersalah, trauma, dan ketakutan yang masih menghantuinya. Tapi di sisi lain, Jihan telah menjadi seseorang yang ia yakini sangat berarti, jauh lebih dari sekadar tanggung jawab.
"Jihan..." Stevan akhirnya memulai, suaranya pelan namun tegas. "Aku harus jujur sama kamu. Tentang malam itu... malam dimana aku nabrak ayahmu."
Jihan terdiam, menunggu kata-kata Stevan yang tampaknya berat keluar. Ia tahu cerita ini, tapi belum pernah mendengarnya langsung dari Stevan.
"Aku mabuk waktu itu," Stevan melanjutkan, menundukkan kepalanya. "Aku habis lihat tunanganku... Yulia, tidur bareng pria lain di apartemen kami, they having sex that night. Malam itu harusnya jadi malam anniversary kami yang keenam, tapi ternyata semua yang aku bangun dengan dia hancur di depan mata. Aku gak tau harus gimana, aku marah, aku kecewa... dan aku... minum untuk ngelupain semuanya. Aku berusaha menghormati Yulia dengan tidak menyentuh meskipun kami sudah tunangan di tahun ke lima."
Stevan berhenti sejenak, mengambil napas dalam, mencoba menenangkan perasaannya yang kini mulai bergejolak. "Dan itu yang bikin aku kehilangan kendali. Aku minum sampai mabuk berat dan ngebut di jalanan... Aku gak akan pernah maafin diri sendiri untuk itu."
Jihan mendengarkan dengan tenang, meski hatinya perih mendengar kembali tragedi yang telah merenggut ayahnya. Namun, ia juga bisa merasakan rasa sakit yang Stevan rasakan. Perlahan, ia menaruh tangannya di atas tangan Stevan yang gemetar, memberi isyarat bahwa ia mendengarkan, tanpa menyalahkan.
Stevan menoleh, menatap Jihan dengan mata yang dipenuhi emosi. "Tapi yang paling aneh dari semua ini... seiring waktu berjalan, aku mulai ngerasa nyaman sama kamu. Awalnya, aku pikir itu cuma rasa tanggung jawab, tapi sekarang... aku tau itu lebih dari itu."
Stevan menunduk, suaranya melemah. "Aku takut, Ji. Aku takut buka hati lagi. Trauma dengan Yulia masih ada, tapi kamu... kamu bikin aku ngerasa tenang, ngerasa aku layak untuk bahagia lagi. Aku nggak tau gimana kamu bisa begitu tenang nerima semua ini, tapi aku ngerasa... kamu adalah orang yang bisa bikin aku jadi lebih baik."
Jihan menarik napas panjang, mencoba mencerna semua yang baru saja diungkapkan Stevan. Ia menatap pria itu dengan mata penuh simpati. "Kak Stevan... Aku ngerti kamu masih trauma, dan aku juga paham rasa bersalahmu. Tapi satu hal yang harus kamu tau, aku gak pernah salahin kamu untuk apa yang terjadi. Itu kecelakaan... dan kamu udah berbuat lebih dari cukup untuk tanggung jawabmu."
Stevan hanya menatapnya, tampak kebingungan dengan ketulusan Jihan.
Jihan melanjutkan, suaranya lembut namun penuh kepastian. "Kamu manusia, Kak. Kamu terluka, dan kamu berhak untuk sembuh. Aku juga, meski aku kehilangan ayah, aku tetap berusaha untuk move on dan hidup. Kita semua punya masa lalu, tapi masa depan kita itu yang lebih penting. Dan soal perasaanmu... kalau kamu merasa nyaman sama aku, aku juga merasa begitu. Kita gak harus buru-buru, Kak. Aku ngerti kalau kamu masih takut, dan itu gak apa-apa. Kita bisa jalanin ini pelan-pelan, satu langkah di waktu yang tepat."
Jihan menggenggam tangan Stevan lebih erat, menatapnya dalam-dalam. "Aku ada di sini, Kak. Kita bisa lewati ini bareng-bareng. Aku gak butuh kamu jadi sempurna, aku cuma butuh kamu jadi diri sendiri."
Stevan menelan ludah, merasakan ada beban yang perlahan terangkat dari dadanya. Jihan, dengan segala ketenangan dan kedewasaannya, telah memberi jawaban yang tak pernah ia duga. Ia meremas balik tangan Jihan, matanya berkaca-kaca.
"Terima kasih, Ji. Terima kasih sudah ada buat aku," bisik Stevan, perasaan hangat dan damai menyelimuti hatinya untuk pertama kali sejak tragedi itu.
---
Setelah Stevan dan Jihan saling membuka diri dan berbicara mengenai rasa bersalah Stevan atas kecelakaan yang menyebabkan kematian ayah Jihan, hubungan mereka mulai berubah secara perlahan.
Walaupun Jihan sudah memaafkan Stevan, pria itu tetap merasa harus bertanggung jawab lebih jauh untuk memastikan kehidupan Jihan tidak terhenti akibat tragedi tersebut.
Stevan mulai lebih sering mengunjungi Jihan, bukan untuk memaksakan bantuannya, tetapi untuk memastikan bahwa gadis itu memiliki dukungan, baik secara emosional maupun material.
Seiring waktu, kunjungan Stevan menjadi lebih rutin, bukan hanya soal pekerjaan, tetapi mereka mulai berbagi cerita pribadi dan bahkan mulai menikmati kehadiran satu sama lain.
Suatu malam, setelah seharian bekerja, Stevan mengajak Jihan untuk makan malam di sebuah restoran kecil yang sering ia kunjungi saat kuliah. Stevan terlihat lebih santai dari biasanya, dan suasana hangat terpancar saat mereka berbicara tentang masa depan. Lelaki itu mengenakan kaos polo putih dan celana kain hitam.
Sedangkan Jihan memakai dress sabrina yang sepanjang lutut dan memperlihatkan bahu apiknya.
Mereka berbicara tentang rencana hidup, mimpi, dan harapan yang belum sempat terwujud.
Stevan menatap Jihan, yang tengah tertawa kecil mendengar ceritanya tentang kejadian konyol di masa kuliah. “Kamu keliatan lebih bahagia sekarang, Ji. Aku seneng lihat kamu tersenyum lagi,” ujar Stevan dengan nada hangat.
Jihan berhenti tertawa sejenak, lalu menatap Stevan dengan senyum lembut. “Aku juga ngerasa lebih baik sekarang, Kak. Terima kasih karena selalu ada buat aku. Kehadiran Kakak benar-benar membantu,” jawabnya tulus.
Momen itu membuat Stevan merasa sesuatu yang berbeda. Hubungan mereka telah berkembang lebih dari sekadar rasa bersalah atau tanggung jawab. Ada perasaan yang lebih dalam yang mulai muncul di antara mereka, meski tak ada yang berani mengatakannya.
Setelah makan malam selesai, Stevan mengantar Jihan pulang seperti biasa. Namun, sebelum Jihan keluar dari mobil, Stevan menahan tangan gadis itu sejenak.
“Jihan...,” Stevan memanggilnya dengan suara pelan namun serius.
Jihan menoleh, sedikit terkejut dengan nada bicara Stevan yang tiba-tiba berubah. “Ya, Kak?”
Stevan menatapnya dalam, dengan tatapan yang penuh keraguan dan harapan. “Aku cuma... Aku ingin kamu tau, bahwa aku nggak lagi di sini cuma karena rasa bersalah. Aku peduli sama kamu. Lebih dari yang kamu kira.”
Jihan terdiam, menatap Stevan dengan mata yang melebar. Kata-kata itu terngiang di telinganya, membangkitkan perasaan yang juga ia rasakan, tetapi selalu ia tahan.
🍀
08102024
wdyt guys? menurut kalian, apakah baik Stevan maupun Jihan udah buka hati untuk satu sama lain? coba komen dari sudut pandang kalian...
KAMU SEDANG MEMBACA
✅Bergala Bunga Matahari | Kim Soohyun Kim Jiwon
Fiksi PenggemarBatal menikah membuat Stevan melampiaskan kemarahannya pada minuman keras, hingga tengah malam tiba, ia terlibat dalam kecelakaan yang merenggut nyawa seorang lelaki tua. Dalam kekalutannya, seorang gadis muda malah mengulurkan sebotol air minum ali...