Chapter 3

332 40 2
                                    

"Sean."

Sean langsung mengalihkan pandangannya saat suara seorang perempuan terdengar memanggilnya. Ia menatap perempuan itu dengan seksama, berusaha mengingat apakah mereka pernah bertemu sebelumnya atau tidak. Namun, sama seperti yang sebelumnya. Sean bahkan tak mengingat secuil apapun, justru hanya rasa sakit pada kepalanya yang kian memburuk.

"Jangan memaksakan dirimu untuk mengingatku. Aku mengerti keadaanmu saat ini."ujar perempuan itu lalu ikut duduk di samping Sean.

Sean hanya mengangguk sebagai jawaban. Sean kemudian kembali melirik ke arah sosok perempuan yang ia yakini adalah Vanila, namun sosok itu telah menghilang.

"Sean, karna kamu amnesia. Mari kenalan ulang, kenalkan aku Olivia teman dekat kamu, sama seperti Rafi dan Dika."ucapnya memperkenalkan diri, yang ternyata perempuan itu adalah Olivia.

"Benarkah? Tapi kenapa kamu gak pernah menemui ku setelah amnesia?"tanya Sean bingung.

"Iya kita sangat dekat, bahkan kita selalu mengerjakan tugas OSIS bersama. Kamu adalah ketua OSIS, terkadang kita juga berpatroli atau menghukum anak bermasalah bersama-sama. Soal aku yang tidak pernah datang, itu karna kita sekarang beda negara, orang tuaku melarang untuk aku datang ke negara ini sendirian."Jawab Olivia setelah berpindah tempat duduk semakin dekat dengan Sean.

"Ternyata aku keren juga yah bisa jadi ketua OSIS. Pasti seru saat menghukum anak bermasalah."seru Sean sedikit tertarik dengan topik percakapan ia dan Olivia.

"Ya, kamu sangat keren walau sedikit sadis saat memberi hukuman."lirih Olivia di akhir kata.

"Benarkah? Dulu aku orangnya bagaimana?"tanya Sean penasaran.

"Kamu tuh orangnya cuek dan jarang ngomong kalau gak penting. Tapi kalau dengan orang terdekat kamu gak se cuek itu."jawab Olivia seadanya.

Sean terdiam setelah mendengar jawaban Olivia. Bisakah ia menanyakan pertanyaan yang selama ini mengganggu pikirannya? Semua orang yang ia tanyai tak ada yang menjawab satupun dan selalu mengalihkan pembicaraan. Sean menatap Olivia ragu, namun jika ia tak bertanya sekarang. Maka pertanyaannya akan tersimpan selamanya. Sean harap Olivia akan menjawab dengan jujur.

"Ada apa Sen?"tanya Olivia dengan wajah sedikit memerah karna di tatap oleh Sean cukup lama.

"Aku ingin menanyakan sesuatu, tapi ku harap kamu jujur dan tak menutupi apapun."ucap Sean dengan pelan.

Olivia menatap Sean bertanya, sedikit penasaran dengan apa yang ingin pujaan hatinya tanyakan.

"Vanila siapa? Kenapa aku hanya mengingat tentangnya saja? Ada hubungan apa aku dengannya Olivia?"tanya Sean lirih, rasa pusing di kepalanya semakin menjadi. Entah mengapa setiap mengingat tentang Vanila, kepalanya selalu sakit di sertai pusing.

"Vanila?"tanya Olivia memastikan.

Sean mengangguk pasti. Itu adalah pertanyaan yang selalu Sean utarakan, namun tak ada satupun yang ingin menjawab atau sekedar menanggapi pertanyaannya.

"Vanila lagi? Apa tak cukup aku mengirimnya ke akhirat? Kenapa Sean masih saja terus mengingatnya. Sialan." Batin Olivia sembari menatap Sean rumit.

"Vanila adalah orang yang sangat menyukaimu, ia selalu menempelimu kemanapun di sekolah dan selalu mengajakmu berpacaran. Namun kamu selalu menolak dengan halus ajakan itu karna kamu gak punya sedikitpun perasaan padanya. Namun, saat kamu koma di rumah sakit, Vanila mengalami musibah. Ia di perk*sa oleh beberapa laki-laki dan karna depresi akhirnya Vanila bunuh diri."Jawab Olivia dengan penuh kebohongan.

Sean terdiam, berusaha mencerna jawaban Olivia. Otaknya yang terus berfikir keras semakin memperburuk rasa sakit di kepalanya. Pandangannya mulai mengabur di sertai tubuhnya yang mendadak lemas tak bertenaga. Sesaat sebelum tak sadarkan diri, ia melihat Olivia yang menatap khawatir serta suara Sakha dan Rafi yang memanggil namanya.





°°°°°°°°°°°°°°°°°°°






Sean membuka matanya perlahan, kemudian menutupnya kembali di saat cahaya matahari menyilaukan matanya. Lalu membukanya kembali di kala telah merasa lebih baik.

Sesaat setelah Sean pingsan dan di bawa pulang, acara juga langsung di bubarkan karna jam juga telah menunjukkan pukul 1 dini hari.

Sean menatap sekeliling, ia berada di kamarnya. Namun tak ada seorang pun di sana yang menemaninya. Sean kemudian bangkit untuk bersandar pada sandaran kasur, namun gerakannya terhenti saat rasa perih langsung menjalar di tangan kanannya.

Sean baru sadar bahwa kini ia sedang di infus, apa kondisinya memang separah itu sampai harus di infus? Sean sebenarnya benci yang namanya di infus. Namun jika ia buka, maka dokter akan memasangkan lagi dan itu sangat sakit.

Sean akhirnya pasrah dan kembali berbaring menunggu seseorang datang memasuki kamarnya. Kondisinya tak memungkinkan untuknya bangun dan menghampiri keluarganya. Ditatapnya tangan kanan yang terpasang infus, lalu menatap tangan kirinya juga. Kedua punggung tangannya kini memiliki banyak bekas infus walau sudah ada sebagian yang hilang dan memudar karna di olesi salep penghilang bekas luka.

Sean kembali teringat dengan jawab Olivia kemarin. Sean turut prihatin dengan kejadian yang menimpa Vanila. Namun menjadi kesal saat mengingat kenapa hanya Vanila yang ia ingat dari sekian banyaknya orang terdekatnya. Kenapa Vanila selalu muncul dan mengganggu aktivitasnya.

"Kenapa harus aku? Kenapa bukan orang lain saja? Apa karna dia menyukaiku? Hingga dia terus datang padaku walaupun dia telah meninggal. Aku tau aku itu sangat tampan, tapi apa bisa sampai segitunya?"gerutu Sean dengan suara kecil.

"Kenapa rumit sekali?"tanya Sean sembari memandang langit kamarnya.

"Kenapa aku melupakan segalanya? Kecuali tentang Vanila. Kenapa dengan yang aku ingat dan yang Olivia ceritakan berbeda? Aku harus percaya yang mana? Kenapa amnesia semenyiksa itu? Aku harus menanggung rasa penasaran yang akhirnya akan membuat kepalaku sakit dan pusing."keluh Sean sembari memukul kepalanya.

"Apakah aku harus membenturkan kepalaku dulu agar ingatanku kembali?"ucap Sean yang mulai tidak masuk akal.

Mengikuti nalurinya, Sean bangkit dengan perlahan menuju ke arah tembok dengan susah payah. Baru saja hendak membenturkan kepalanya, kepala Sean di tahan oleh seseorang.

"Lo masih waras kan?"tanya Samudra sarkas. Niat hati ingin mengecek keadaan Sean, malah mendapati anak itu yang bertingkah aneh.

"Masih kok."Sean mengangguk dengan polos.

"Trus ngapain Lo mau benturin kepala Lo ke dinding? Mau bunuh diri Lo?"tanya Samudra tak habis pikir dengan sedikit kesal namun tak tega saat tatap polos Sean terus menatapnya.

"Aku gak mau bunuh diri kok. Aku cuman mau benturin kepalaku, siapa tau habis itu ingatanku kembali."jelas Sean masih mempertahankan posisinya.

"Astaga, Lo belajar darimana sih? Tau gak kalau itu bahaya? Bukannya ingatan Lo yang balik, tapi Lo yang kembali ke pangkuan Tuhan."omel Samudra tak habis pikir dengan kelakuan bocah satu itu.

Samudra membantu Sean kembali berbaring ke tempat tidur, walau dalam hati sembari mengomel. Tak tega dia jika harus memarahi langsung.

"Aku belajar dari buku novel yang Xeina kasih 1 minggu yang lalu. Itu beneran bahaya ya Bang?"tanya Sean menatap Samudra penasaran.

"Bahaya lah. Lain kali jangan lakuin hal kayak gitu lagi. Emang Lo mau sakit lebih parah?"tanya Samudra dengan sedikit mengancam.

"Ga mau, sakit itu ga enak.",jawab Sean dengan gelengan.

"Makanya jangan kayak gitu lagi."ucap Samudra yang di angguki Sean.

"Emang salah besar sih anak sepolos Sean di jagain sama Nana. Kelakuannya gak ada yang benar. Untung sayang, untung cinta." Batin Samudra sabar.



















































































































































°°°°°°°To be continued°°°°°°°°

FATE S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang