Kaeden meremas berkas itu dengan kuat. Membuat urat-urat tangannya menonjol. Ketenangan sang pria biksu akhirnya tergoncang. Oliver yang melihatnya segera menelan suaranya sendiri. Dia takut kalau amarah itu ada karena dia yang banyak bicara.
"Lakukan sesuatu," ucap Kaeden.
"Kau ingin aku melakukan apa?"
"Hancurkan keluarga itu. Kakak-kakaknya dan bahkan ayah ibunya, aku mau mereka kehilangan segalanya. Jangan menyisakan satu pun harapan untuk mereka."
Oliver yang mendengar menipiskan bibirnya. "Tapi mereka keluarganya. Kalau kakak ipar tahu ...."
Kaeden mendelik tajam. Dia benci ada yang menimpali suaranya saat dia memerintah dan Oliver tahu itu. Tapi Oliver keceplosan.
"Baik-baik, aku akan melakukannya. Aku pergi sekarang dan mengurusnya."
Hanya anggukan yang diberikan Kaeden dan pria itu kembali menatap ke jendela di sisi kirinya. Menatap keluar di mana waktu sore hampir datang. Dia duduk di sana cukup lama sampai ibunya sendiri datang dengan tas yang diletakkan agak keras.
"Di mana dia?" tanya wanita itu dengan senyuman lebar penuh kebahagiaan. Corine sejak tadi terus menggerakkan lehernya mencari perempuan kecil yang menggemaskan itu. Tapi tak kunjung dia temukan. "Kau tidak membawanya ke sini?" tanyanya lagi dengan penuh kejengkelan. Karena Kaeden memang tidak menjawabnya langsung. Anaknya memang seperti itu, kalau tidak menyebalkan maka bukan anaknya.
"Ada di atas."
Corine yang sudah duduk mau bangun lagi hendak menghampiri. Dia tidak sabar, dia tidak mau menunggu. Saat tahu Kaeden menghampiri Mina di rumah sakit, Corine buru-buru menyelesaikan arisannya untuk pulang dan menemuinya.
"Jangan pergi. Dia sedang tidur. Dia lelah."
Corine yang mendengarnya segera cemberut. Tapi manut saja dengan apa yang dikatakan putra tunggalnya itu. Dia kembali duduk di sofa dan melihat ada berkas yang sudah lecek di atas meja. Tampak ditaruh dengan sembarangan. Corine mengambilnya dan segera membacanya.
Dia mengamatinya dan kemudian bibir itu terlihat keriting dengan amarah dan kebencian. "Apa gadis muda itu mendapatkan perlakuan seperti ini dari keluarganya?"
Kaeden mengangguk.
"Biadab!" Corine melemparkan kertas itu kembali ke meja. "Kau harus melakukan sesuatu. Suruh Oliver membuat mereka menerima ganjarannya. Ayah dan ibu kandung tapi bersikap dengan begitu semena-mena. Jangan beri ampun."
"Sudah kulakukan," timpal Kaeden dengan malas.
Corine kemudian melirik putra tunggalnya. Senyuman tipis terhias di bibirnya. "Lalu bagaimana menurutmu gadis itu?"
Kaeden menatap waspada. "Apa maksudmu bagaimana? Ya, begitu."
"Begitu bagaimana? Apa kau suka? Tidak suka?"
Kaeden melirik ibunya yang selalu pandai dalam bersikap usil. Dia sudah akan menjawabnya saat dia merasakan gerakan dari arah tangga lewat ekor matanya. Pandangannya segera lari ke anak tangga dan menemukan Mina di sana yang sudah akan kembali naik karena sepertinya melihat Kaeden sedang bicara dengan ibunya.
"Kau sudah bangun?" tanya Kaeden. Dia melirik jam tangannya. Dua jam berlalu dan gadis itu bangun. "Kemarilah."
Mina meragu.
Tapi Corine yang dipenuhi dengan euforia itu berlari kecil ke arah Mina dan segera meraih tangannya. "Aku mamamu. Ayo, kita bicara sedikit." Dan Corine seperti biasa memaksa dalam kelembutannya. Mina tidak berdaya. Tapi jelas lega karena tahu Corine tidak menolaknya. Apalagi Corine langsung membawa Mina duduk di sisinya. Menyentuh tangan Mina dengan hangat yang membuat Mina menatap Corine penuh haru. Seolah dia baru mendapatkan kasih sayang seorang ibu.
Dia memiliki ibu kandung, tapi ibu kandungnya memperlakukannya lebih buruk dari ibu tiri atau bahkan orang asing sekali pun. Dia selalu memperalat Mina di setiap kesempatan. Apa pun yang menguntungkan Mina, dia akan melakukannya.
Itu membuat Mina benar-benar tidak pernah mendapatkan kasih sayang yang nyata dari ibu kandungnya atau keluarganya. Semuanya sama saja. Mina seperti asing di tengah keluarganya sendiri. Jadi saat setitik kasih sayang diberikan padanya, rasa haus akan kasih sayang itu segera menjelma menjadi lautan keinginan yang memendam selama ini.
Kaeden mengawasi gadis itu dalam diam. Jelas melihat Mina lebih antusias saat bersama dengan Corine dibandingkan dirinya. Tapi seperti biasa pria itu tidak mengatakan apa pun. Hanya mengamati dalam diam menjadi sesuatu yang memang ahli untuk dia lakukan. Dia pandai membuat orang lain tidak menyadari pandangannya.
"Oh, aku memiliki ide. Bagaimana kalau kita pergi belanja pakaian untukmu?" usul Corine dengan sangat antusias. Matanya bahkan berbinar menemukan bayangannya sendiri memilihkan pakaian untuk Mina. Dia selama ini memang memiliki keinginan terpendam, ingin memiliki anak perempuan. Meski tentu dia puas dengan di dingin Kaeden. Tapi tetap saja memiliki seseorang yang bisa berbagi hobi dengannya adalah sesuatu yang menyenangkan.
Apalagi dia pernah mengusulkan untuk Kaeden menikah muda. Dan yang dilakukan putranya itu malah melajang seumur hidupnya. Membuat Corine hampir putus asa. Dengan segala kekesalan, dia merencanakan memilihkan Kaeden perempuan yang tidak akan bisa ditolaknya. Dan sosok seperti Mina, memang cocok dengan Kaeden. Corine akan berusaha untuk membuat segalanya berjalan dengan semestinya.
"Pakaian? Aku sudah memiliki banyak di flatku. Aku akan mengambilnya nanti. Jadi tidak perlu ...."
"Aku selalu ingin belanja dengan anak perempuanku. Ayolah, kau mau, kan?"
Mina agak gelisah. Dia menatap Kaeden kemudian. Mencari jawaban pada pria dingin itu.
"Kalau kau mau pergi, pergilah. Kalau tidak, aku akan membuatnya tidak memaksamu."
Corine mendengus. "Dia memang akan melakukan seperti yang kau inginkan. Jangan membuat dia menghentikanku. Pergi denganku, ya? Aku janji kita akan cepat. Hanya memilih beberapa."
Mina akhirnya mengangguk. Permohonan Corine memang tidak mudah diabaikan. Dan lampu hijau diberikan Kaeden yang membuat dia dapat memilihnya sendiri.
Corine segera memeluk lengannya dan bergerak membawanya pergi. Mina sempat menatap pada Kaeden di mana pria itu kembali sibuk menatap jendela. Seolah tidak akan ada yang dapat mengganggunya dari dunianya sendiri.
Mina yang menatap Kaeden segera tertangkap oleh Corine. Saat dia melihat senyuman Corine, Mina segera menunduk dengan malu. Itu membuat Corine terkekeh dengan geli.
"Kau terganggu dengannya?" tanya Corine setelah mereka masuk ke mobil. Tahu kalau Mina pasti akan bicara jika Kaeden tidak mendengarkannya.
"Siapa?"
"Pada Kaeden."
"Tuan Kaeden orang yang baik."
Corine tertawa geli. "Oh, jangan memanggilnya tuan. Dia akan marah padamu."
Mina kelabakan. "Sungguh?"
"Kau mengandung anaknya dan kau memanggilnya tuan. Bukankah itu seperti dia meniduri pekerjanya sendiri? Sebaiknya kau panggil Kaeden saja. Untuk menyelamatkanmu dari kemarahannya."
Mina langsung mengangguk menurut. Tidak marah saja Kaeden sudah menakutkan, apalagi kalau sampai wajah dingin itu dibalut dengan amarah. Mina lebih suka melarikan diri saja. Karena Kaeden memang lebih menakutkan dari siapa pun.
***
Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di akuSampai jumpa mingdep 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
My Little Darkness (SEN)
RomancePria biksu seperti Kaeden Vaughn pada akhirnya masuk jebakan ibunya. Dengan obat yang sudah ditelan, Kaeden tidak lagi bisa menahan diri menyentuh gadis muda yang jatuh ke pelukannya. Sang gadis sempat memperingatkannya soal pengaman, tapi dengan la...