“Tenang saja, Miss Valentine. Ibu Anda sudah stabil,” lanjut suster dengan senyum menenangkan ketika menyadari Jeanny sudah hampir pingsan dan hanya mengandalkan Mike untuk menopangnya.
Bersama Mike, perawat itu segera membantu Jeanny untuk duduk di kursi terdekat, mengambilkannya minum untuk menenangkan diri. Jeanny menerima gelas berisi air dengan tangan gemetar sebelum pelan-pelan minum.
“Jika Anda sudah tenang, saya akan membawa Anda ke kamarnya. Sekarang istirahatlah dulu.” Wanita itu menepuk-nepuk pundak Jeanny yang dibalas dengan gelengan.
“Aku sudah tidak apa-apa. Tolong antarkan aku ke kamar Mommy,” mohon Jeanny membuat suster itu menghela napas. Dia melihat ke arah Mike yang memberi kode agar keinginan Jeanny dituruti.
“Biar aku yang membantunya berjalan,” balas Mike. “Kapanpun kau siap.”
Gadis itu mengangguk sebelum menyerahkan gelas ke suster dan mencoba berdiri. Dia sempat jatuh tapi segera ditopang Mike dengan memegang bahunya.
“Ibu Anda saat ini sedang dalam pengaruh sedatif. Jadi Anda perlu tenang agar tidak mengganggu istirahatnya.” Sang suster memberi peringatan.
“Terima kasih, Sus.” Jeanny mengambil napas panjang sebelum menguatkan langkahnya dan mulai berjalan.
Jeanny semakin kuat melangkah dan Mike perlahan-lahan melepaskan bahunya, membiarkan gadis itu melangkah sendiri. Suster itu mengantarkan Jeanny ke kamar yang begitu familiar dengannya. Entah sudah berapa kali dia ke sana untuk menemani ibunya yang kadang-kadang tidak mengenali anak semata wayangnya.
Mata Jeanny langsung tertuju pada sosok yang sedang tertidur di pinggir ruangan. Ibunya sedang tertidur di atas ranjang berselimut tebal yang nyaman. Wajahnya tenang dan dadanya naik turun dengan damai. Tidak ada yang mengira bahwa beberapa menit lalu, sosok itu kejang dan meronta hebat. Jeanny berjalan mendekat dengan tubuh gemetar, Mike mengikutinya dan siaga untuk menahan tubuh Jeanny jika limbung.
“Biarkan pasien beristirahat, ya. Panggil saya jika dibutuhkan.”
“Terima kasih, Suster,” ucap Mike mewakili Jeanny yang masih terpaku memandangi ibunya dengan mata berkaca-kaca.
Mike mengambilkan kursi dari meja kecil tak jauh dari sana dan meletakkannya di samping tempat tidur.
“Jeanny duduk dulu,” ajak Mike lembut sambil mengarahkan gadis itu untuk berjalan ke dekat kursi. Jeanny menurut tanpa banyak bicara. Pikirannya terlalu kalut untuk sekadar mengambil keputusan sederhana itu.
Ketika Jeanny sudah duduk, baru Mike mengambil kursi lainnya untuk duduk di samping Jeanny. Dia tidak berkata-kata lagi dan membiarkan Jeanny larut dalam pikirannya.
Tangan Jeanny menggenggam tangan ibunya yang keriput walau masih muda. Dia mengetahui setiap kerutan di sana tergurat karena perjuangan ibunya untuk hidup demi Jeanny. Napas gadis itu tercekat ketika menyadari ada perban yang membalut pergelangan tangan Margareth. Air mata yang selama ini dia tahan akhirnya keluar. Namun, karena tidak ingin membangunkan sang ibu, Jeanny berusaha menangis setenang mungkin. Hanya sesekali tarikan napas yang terdengar di ruang kecil itu. Mike menepuk-nepuk punggung Jeanny untuk menenangkan.
Beberapa menit kemudian, Jeanny lebih tenang. Mike yang sudah mengambil air kembali menyodorkan gelas pada gadis itu. Kali ini dia menolak dan Mike meletakkan gelas di atas nakas.
“Feel better?” tanya Mike simpatik.
Jeanny mengangguk sambil menghapus sisa-sisa air mata menggunakan tisu yang telah diambil Mike beberapa saat sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(END) LOCK ME IN, SUGAR DADDY
Lãng mạnAda degup yang meliar di dada Jeanny, ketika seorang pria matang meninju si berengsek yang berani mengganggunya. Lengan kukuh dengan kekuatan yang mampu meremukkan tulang rahang lawannya tadi, justru membelai pipi gadis berusia 18 tahun itu dengan l...