4. Daddy's Calling - Suara yang Menggetarkan Dada

14.2K 452 53
                                        

"Jangan masuk!"

Kaki jenjang Jeanny sigap menyambar kaus oblong obralan Black Friday minggu lalu. Untung saja masih berserakan di lantai. Ia bergegas menutupi lekuk bagian tubuh yang hanya dilindungi lingerie hitam. Tak peduli apakah pakaiannya ini pantas menerima tamu, terlebih pria itu.

"Jeanny, everything's alright!?" seru Dom naik satu oktaf, dengan gesit jemari berototnya menahan gawang pintu begitu ada sedikit celah.

Daun pintu itu mulai berderit, sedikit menampilkan siluet gagah. Jeanny yang gelagapan, secara refleks menubrukkan diri ke pintu. Sayangnya, ujung sepatu kulit mengilap Dom tak sempat menahan dorongan penghuni kamar.

Suara debak diiringi pekik tertahan terdengar janggal di telinganya.

"Je-Jeanny—akh!"

Sontak Jeanny menengadah. Mata bulatnya melebar tatkala meraih sosok pelindungnya. Samar-samar mulai tercium aroma parfum khas flamboyan yang siap mengunci patuh otak gadis itu, meski masih di ambang pintu dan nyaris menutup.

"Astaga, Tuan Petrov!" Melihat empat jari Domivick terimpit celah pintu, Jeanny sontak mengendurkan dorongannya.

"Biarkan aku masuk, please?"

Dengan melonggarkan sedikit, Jeanny berharap pria yang selalu menguarkan pemikat white musk itu menarik kembali tangannya. Akan tetapi, Dom justru melesak ke dalam hingga si pemakai salah satu kamar apartemen tipe studio tidak berkutik.

"Mengejutkan, tak kusangka kau memiliki kekuatan seperti tadi," basa-basi Dom diselingi menyunggingkan seringai tipis.

Jemari Jeanny tanpa sadar mencengkeram rapat leher kausnya. Ia dapat merasakan aliran darahnya menyentak detak jantungnya bertalu-talu. Berada sedekat ini, kurang dari satu meter dengan pria penuh sensualitas.

Domivick Petrov.

Tidak! Jangan lebih dekat dari ini!

Ya Tuhan, ini tidak baik untuk kesehatan kardiovaskularnya.

"Did I scare you?" tanya Dom berair muka melankolis.

Jeanny menggeleng pelan. Rasa bersalah muncul ketika mengetahui ada luka memar sedikit lecet di buku-buku jari pria itu. Jeanny meringis, tidak bisa membayangkan bagaimana jika jari-jarinya terjepit dengan cara dihantam seperti tadi. Kemudian berbalik memunggungi Dom untuk mencari kotak pertolongan pertama pada kecelakaan. "Tunggu sebentar, lukamu harus kuobati."

"Don't." Tiba-tiba, Dom meraih lengan gadis itu hingga tersandung dalam dekapannya. "Aku tidak mau menunggu sesuatu yang tidak perlu, dan abaikan luka kecil ini, bukan apa-apa."

"T-Tapi …." Jeanny pun hanya tergaguk-gaguk.

"Salahku juga, tidak mengabarimu berkunjung. I'm really sorry, My Dear." Dom mengecup singkat punggung tangan Jeanny.

Sekejap aroma maskulin telah merasuk dalam kepala Jeanny, mendominasi separuh akal sehat. Tubuh dara itu terhuyung ke belakang. Salah satu tangan berbalut setelan tuksedo putih susu lekas menangkup pinggul semampainya. Sementara, tangan lainnya menyembunyikan sesuatu di balik punggung lebarnya. Namun, atensi Jeanny lebih teralihkan oleh pahatan wajah sebagai mahakarya Tuhan paling gentleman yang pernah Jeanny temui.

Banyak pria rupawan di sekeliling gadis itu. Terlebih Las Vegas merupakan salah satu negara bagian USA yang menjadi sorotan destinasi pelancong dunia papan atas untuk membuang uang demi kenikmatan para hedonis. Pria pesolek pelbagai dunia mana pun dapat ditemui di mana saja. Namun, tidak semua pria tampan memiliki perangai gentleman.

Kenapa semua yang membalut tubuhnya selalu pas—tidak, malah sangat sempurna? pikir Jeanny meracau. Ia berani bertaruh semua bahan kain yang menyembunyikan otot kekar di tubuh bidang Dom tidak sebanding dengan gaji setahunnya.

(END) LOCK ME IN, SUGAR DADDYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang