Waktu berlalu, dan keadaan di rumah semakin memburuk. Pertengkaran antara kedua orang tuaku bukan lagi hal yang terjadi sesekali, tapi menjadi rutinitas harian. Setiap hari, ada saja yang menjadi bahan perdebatan—keuangan, pekerjaan, atau bahkan hal-hal kecil seperti pilihan makanan malam itu.
Aku mulai menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah, mencoba melarikan diri dari kegaduhan yang selalu ada. Taman di dekat rumah menjadi tempat pelarian favoritku. Di sana, di bawah bayang-bayang pohon, aku bisa merasakan sedikit kedamaian yang sulit ditemukan di rumah. Buku catatan kecil yang selalu kubawa menjadi tempatku menumpahkan semua perasaan—rasa sakit, kecewa, marah, dan kadang-kadang rasa takut yang tak bisa kujelaskan.
Suatu sore, saat aku pulang dari taman, aku menemukan ayah sedang mengemas barang-barangnya. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, hanya tatapan dingin yang tidak pernah kutemukan sebelumnya. Saat aku bertanya apa yang terjadi, ia hanya berkata singkat, "Aku pergi."
Dan begitu saja, dia pergi. Rumah yang sudah retak kini benar-benar hancur. Ibu semakin tenggelam dalam kemarahan dan kesedihan. Aku menjadi satu-satunya tempat pelampiasannya. Setiap kali aku berusaha berbicara dengannya, mencoba menghiburnya, aku hanya mendapat tatapan penuh kebencian. "Kamu yang membuat semua ini terjadi," katanya dengan suara penuh amarah. Kata-kata itu menghancurkan hatiku lebih dari apa pun.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Luar di Balik Pintu
Short StoryCerpen ini mengisahkan perjalanan hidup seorang remaja perempuan yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang tidak harmonis. Dalam setiap langkahnya, dia selalu merasa salah di mata kedua orang tuanya, dianggap keras kepala, dan disalahkan atas segal...