Henry langsung masuk ke kamarnya dan membawa serta anjing peliharaannya begitu mereka tiba kembali di apartemen aktor tersebut. Alex membiarkan pria itu untuk punya waktu sendiri sementara ia menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Ia memeriksa kiriman yang datang—beruntung tidak ada paket aneh-aneh. Memeriksa kamera pengawas dan berbicara dengan sekuriti gedung tentang tamu-tamu yang keluar masuk gedung—mereka bilang tidak ada orang yang mencurigakan, tapi siapa tau, Alex paham betul dari pengalaman bahwa orang berbahaya terlihat seperti orang biasa pada umumnya.
Kemudian ia ke supermarket untuk membeli biji kopi, karena Alex menemukan sebuah mesin kopi keren di dalam lemari dapur Henry, mesin yang berdebu karena tak terpakai dan membuat Alex bertanya-tanya untuk apa aktor tersebut simpan padahal dia minum kopi saja tidak. Sekalian ia membeli beberapa bumbu, karena meskipun punya isi kulkas lengkap tetapi Henry hampir tidak memiliki seasoning apapun.
"Typical white people, their weak tastebud can't handle the actual taste," gumam Alex dengan gelengan kepala saat memasukkan botol bubuk cajun ke kulkas.
Begitu selesai dengan semua kesibukannya, tau-tau saja sudah hampir jam makan malam. Alex yang merasakan perutnya keroncongan memutuskan untuk memasak. Mengeluarkan daging dan sayuran, memotongnya dan memasukkan semua bahan dan bumbu ke dalam pot, lalu merendam cabai kering dengan air panas.
Malam ini ia akan memasak pozole. Syarafnya tegang karena kejadian siang tadi, ia butuh comfort food, sup yang akan menghangatkan raga dan batin. Dan apa yang lebih baik daripada sup berkuah asal meksiko yang sering dimasakkan oleh Abuela tersayangnya, yang selalu mengingatkannya akan hangat rumah dan senyum sang nenek. Juga karena ia tidak sengaja melihat sepak hamony dan hampir berlutut penuh syukur karena sulit sekali melihat bahan itu tersedia di minimarket dan super market yang penuh lingkungan orang kulit putih.
Masakan yang memakan waktu dan usaha itu akhirnya selesai. Alex berkacak pinggang dengan bangga saat aroma menggiurkan sup merah itu menguar memenuhi dapur.
Setelah mematikan kompor, suasana sunyi sebab bunyi kaldu yang menggelegak hilang. Dan karena itulah Alex bisa mendengar suara televisi.
Heran, pria itu melangkah keluar dapur, melongok ke ruang tengah.
Televisi besar punya Henry sedang menayangkan acara kompetisi masak. Kepala dengan rambut pirang bersender di sandarannya. Alex kembali ke dapur. Mengisi dua mangkuk dan berjalan ke ruang tengah.
Mendudukkan diri di sofa dengan mata tertuju pada mangkuknya. Tidak mau kuah merah dari Pozole menetes pada sofa yang harganya pasti lebih mahal dari gajinya. Lalu ia menoleh pada sang aktor yang sedang cuddling dengan anjingnya tersebut.
Henry balas menatapnya dengan mata membulat lebar. Rasa bingung, sedikit tak percaya, dan satu hal lagi yang tak Alex tahu pasti membayang pada iris birunya. "Tak ada yang lebih baik dari semangkuk pozole panas kalau sedang bad mood," ujarnya menyodorkan satu mangkuk ke arah Henry. "Tapi jangan salahkan aku kalau perut dan lidah orang putihmu itu tersiksa karena cabai."
Henry hanya menatapnya seperti menatap suatu misteri, kemudian dengan gerakan pelan ia menegakkan diri dan menerima mangkuk yang ditawarkan Alex dengan kedua tangannya. Pria itu dengan hati-hati menggeser David sehingga ia bisa lebih nyaman dengan posisinya memegang mangkok. Semua dilakukan dengan mata yang tak lepas memandang mangkuk.
Kemudian pria itu mengangkat wajah kembali. Dengan pelan sebuah senyum terkembang di wajahnya. Senyum pertama yang dilihat Alex pada wajahnya.
"Aku bisa menanggani pedas, kau akan terkejut kalau aku tidak seburuk dugaanmu," balas Henry dengan suara kecil bernada jenaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Full Time Bodyguard, Part Time Lover || FirstPrince
FanfictionMenjadi pengawal pribadi yang berkedok sebagai kekasih? Itu rencana yang konyol! Tapi Alex bisa-bisanya menyanggupi. Memangnya dia siap dengan segala kerepotan dunia selebriti? Memangnya dia siap untuk mengenal sang aktor kenamaan, Henry Fox? Memang...