Mengibaratkan hidup dengan seni menjadi suatu kunci kehidupan yang membuat siapapun yang berpikiran demikian akan di kelilingi oleh rasa syukur di setiap langkahnya. Tapi, mengibaratkan hidup dengan seni ternyata tak semudah yang di pikirkan. Melawa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Wah, udah gak benar, nih!" Davi menepuk keras meja membuat arah pandang semua yang ada di dalam kelas tertuju ke arahnya. "Sorry, sorry." bisik Davi cengengesan.
"Gimana, nih, Zan?" tanya Damian menatap Arzan. "Kasihan Lily, Bella, dan murid lain dijadiin bahan kekonyolan medsos gini. Lapor ke Kepsek pun gak bakalan di gubris. Sialan banget!" Damian sudah sangat gondok.
"Minta bantuan anak Aces, gimana?" Ivan bersuara, membuat seluruh pasang mata Pasorga menatapnya kompak. "Gue gak ada maksud, tapi gak ada salahnya kita cari tahu melalui mereka. Toh, bokap kita juga sesepuh generasi kedua, gak ada yang gak mungkin mereka buat nolak permintaan tolong kita." tambah Ivan.
"Aturan tetap berlaku, Van. Kita sepakat gak meneruskan jejak bokap kita karena konsekuensi membawa nama kubu itu besar." Damian langsung menyahut. "Memang Aces berperan besar dan jadi pentolan di sekolah sedari bokap kita menjabat, minta tolong ke mereka sama aja kita buka jalan keliaran kita sendiri yang mau nggak mau kita harus ikut terjun ke dalam dunia gila-nya mereka." tambahnya.
Davi menghela napas panjang, ia bersedekap dada. "Kalau untuk sementara menurut gue oke-oke aja. Kita gak mungkin sanggup nyelesaiin masalah ini berlima, Dam. Masalahnya ini bukan cuma menyangkut Lily dan Bella, tapi seluruh murid Star High yang nggak bersalah jadi ikut keseret keisengan mereka cuma buat uang sepersen. Alih-alih cari duit, cari kerja sampingan aja mereka gengsi, makanya Aldo lakuin ini sekaligus buat kesenangannya dia doang."
"We can make a deal, Dav. There's nothing impossible to do." Ivan berusaha meyakinkan. "Daripada akan ada banyak korban lagi, lebih baik kita ambil aja semuanya dengan minta bantuan mereka. Toh, kita nggak akan permanen berkecimpung di dalam kubu itu."
Arzan dan Lio memperhatikan perbincangan mereka bertiga. Saling beradu tatap, Lio menaikkan sebelah alis memberi sebuah kode. Kode untuk menyahut pembahasan mereka bertiga.
"Jadi maksudnya kita gabung menjadi anggota kubu, memanfaatkan tenaga mereka untuk menyelesaikan permasalahan ini?" Lio menyahut. Cowok itu menyilangkan kedua tangan di dada, memasang tampang datar yang memberikan kesan penasaran meski rasa penasarannya terbilang sangat kecil. "Kesannya kita gak tahu diri kalau berniat lakuin itu. Pikir mereka kenapa gak dari awal aja kita gabung sama mereka." imbuh Lio mengela napas ringan.
Ivan mengerutkan alis bingung. "Secara gak langsung lo gak berminat, Li,"
"I have no interest in getting involved in their world while our own is falling apart. Saran lo memang oke, Van, but not for me to join them." Lio membalas.
Damian menghela napas panjang. "Kalau kita benaran gabung siap-siap aja terima konsekuensi-nya."
"Tapi gak ada salahnya buat di coba. Oke, anggap aja kita memang gak tahu diri se-enak udel minta pertolongan mereka, tapi di sisi lain mereka pasti tahu dan ngerti kalau kita juga punya peran penting di sekolah ini. Kita punya hak membela sesama murid. Kalau di pandangan mereka kita cuma memanfaatkan tenaga mereka untuk ini, sekalinya jelek ya udah jelek aja sekalian. Tapi, ingat aja kita ngelakuin simbiosis ke mereka, kita untung mereka juga untung, bahkan seluruh murid di sekolah ini juga untung. Coba deh pikir sekali lagi." Davi menjelaskan menurut apa yang ia pikirkan sedari tadi.