𝕀𝕤𝕥𝕒𝕟𝕒 𝕡𝕒𝕤𝕚𝕣 𝕙𝕒𝕣𝕚 𝕞𝕚𝕟𝕘𝕘𝕦

1.2K 149 9
                                    

.
.
.
.

Nara tidak mungkin keliru, kala yang menumbruknya sekian hari lalu adalah orang yang sama dengan lelaki kecil pemegang sapu halaman di setiap minggu pagi, lelaki kecil yang entah mengapa, dengan sederhananya mampu menguasai atensi si penerus dinasti

Dibelakang megahnya istana negara, dibangun deretan komplek elit yang menjadi rumah bagi puluhan petinggi negeri, keluarga mahkamah, keluarga menteri, keluarga dewan, juga berbagai badan pemikul pilar pilar negara,

Nara sering bermain kesana, melewati halaman belakang istana, untuk kemudian menemui teman teman sekasta nya yang telah menunggu dengan sepeda listrik, saling susul menyusul, melesat telusuri tiap sudut komplek,

hingga saat itu, ketika matanya tertuju pada taman bermain di sebrang, seorang anak duduk diatas tanah, kurus badannya kentara karna baju kebesaran yang ia gunakan, dengan sapu lidi masih setia digenggamnya. Pemandangan yang lebih dari cukup membuat Nara menghentikan sepeda, membiarkan teman temannya menjauh di depan.

Phuwin meringis untuk kesekian kali, kala memar yang mulai berdarah itu menghiasi lutut mulusnya, menyesali permainan ayunan yang sekian menit lalu ia nikmati hingga lupa porsi kecepatannya, ingin berdiri namun nyeri menyelimuti, hingga sesaat kemudian seseorang datang tutupi sinar matahari.

Kaki kecil dengan sepatu putih itu mungkin seukuran dengan kakinya, Phuwin terdiam sejenak hingga kemudian mendongkak, memperlihatkan wajah berpoles tanahnya yang menunjukan bahwa ia baru saja tersungkur.

"Kamu jatuh ya?"

Hingga suara polos keluar bersamaan dengan sorot khawatirnya, dibalas hening karna Phuwin tak cukup berani untuk menjawab.

Tatapan dilepas untuk kemudian kembali ia lihat lututnya yang terasa semakin nyeri, Lantas entah mengapa lelaki didepannya itu ikut berjongkok menaruh prihatin.

"Itu sakit sekali sepertinya, harus diobati"

Sungguh sejak tadi Phuwin ingin menangis sekencang kencangnya, namun kehadiran anak presiden ini membuatnya mati matian mengatur nafas.

"Rumah kamu yang mana? Aku bisa antar, aku bawa sepeda disana"

Ditatap kembali wajah bersih yang kini tergurat senyum tulus, baju mahal diselimuti wangi yang menguar menunjukan setinggi apa kasta sosial menjulang antar keduanya,

Lantas kala Phuwin berniat untuk menolak, menyadari jika emas negara itu tak harus mengobrol dengan anak tanah sepertinya, Telapak Nara lebih dulu dijulur untuk menggenggam.

"Sini, aku bantu kamu jalan"

Maka sekelibat kenang itulah yang menjadi awal dari segalanya, muasal dari tatapan yang dikemudian hari akan lebih sering berpapasan, lupakan tembok derajat yang menjulang lantas begitu saja mengikat persahabatan antar keduanya,

Diatas sepeda biru tanpa goesan itu, tangan kecil Phuwin bertumpu pada paha karna tak cukup berani memegang baju bersih didepannya, lantas Nara cukup peka untuk mengatur cepat sewajarnya membiarkan yang sedang terluka merasa nyaman dibelakang.

Hening menemani karna Phuwin tak banyak bicara selain menunjukan arah rumahnya disetiap belokan, membuat mereka semakin bergerak menjauhi area elit perumahan.

"Aku Nara"

Hingga celetuk tiba tiba terdengar, mengusir sunyi yang menggusar hati, mata Phuwin mengerjap.

RASAKRASI [ pondphuwin | bxb ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang