𝕂𝕠𝕒𝕝𝕒 𝕝𝕖𝕞𝕒𝕙

750 101 33
                                    

.
.
.

Ingatkah wahai,
Dulu, kita pernah tau apa itu pemilu
Ketika ratusan baliho dipasang diatas bambu
Media sosial isinya berkubu kubu
Para calon dicari riwayat masa lalu
Diseleksi masyarakat siapa yang paling mampu

Kampanye datang hingar bingar
Terakhir digelar distadion yang lebar
kubu ini berjanji soal jaminan pangan
Kubu itu bicara seputar pendidikan
Khas keduany, tidak ada yang salah atau benar
Buat Partai keluarkan puluhan miliar
Anak muda berlomba dapat serangan pajar
Ibu ibu mencari beras gratis diluar
Bapak bapak diskusi soal tempat nyoblos yang wajar.

Ah, rindu rasanya.
Momen itu, hanya datang 4 tahun sekali,
Setiap satu kepala ganti
Selalu terkuak satu rahasia korupsi
Haha, lucu sekali,
Tapi tidak apa apa, setidaknya itu dikuak
Daripada tidak sama sekali..

Sayangnya memang tidak ada yang abadi
Makin sini manusia kratos makin ahli
Gagah berani aksinya membenahi
Bicara sana sini tentang kemakmuran negeri
Sambil satu persatu mencuri kursi
Eh,

Sudah, lupakan masa lalu itu
Kini bangsa kita telah jaya dalam dinasti
Lihat, Presidennya sungguh bijak hati
Tidak lupa anak anaknya yang patut dipuji
Berbeda dengan si kaskus yang suka memaki

Iya, mereka kini sudah mengerti
Tentang bagaimana caranya, menjadi yang terpilih tanpa ada pemilihan.

Utas utas sastra itu harus berhenti dibaca, lantaran lihatlah, sejak 10 menit lalu si anak presiden telah berdiri disana, meski sengaja ia menundukan muka, hindari tatap yang ingin mengucap seribu kata. Karna rasa tersinggungnya jelas masih ada, pada si emas yang malam tadi mengetik semena mena.

Meski dua telinganya tetap dipasang,
mendengar tukas sarkas sang pria dewasa yang hendak memberi pelajaran. Hingga tiba pada satu perintah, meraih buah dengan cara yang tidak pernah.

Harusnya bukan masalah bagi Phuwin, mungkin memang ini caranya, yang lebih tua juga pasti punya perhitungan, namun entah mengapa, khawatir itu ada tiba tiba.

Oh astaga, om Tay, tidakkah kamu lihat perban perban itu masih melilit ditangannya.

Maka sejak Nara mulai pergi hampiri pohon kelapa, tak lepas matanya dari satu tangan yang tempo hari masih terluka. Tak ada hak untuknya mencegah maka yang bisa ia lakukan hanya menatap gundah.

Terik bola api diatas semakin naik, ombak juga mengayun tenang karna angin semakin jarang, memang waktu yang tepat untuk nikmati satu batok kelapa muda, untung
Pohon disana telah sediakan lubang lubang kecil tempat memijak kaki, buatnya lebih mudah untuk didaki.

Nara berkacak pinggang diatas dahan yang menjulang, mendongkak sejenak menimbang ketinggian, buat bersih wajahnya seketika diserang sinar mentari. Sebelum akhirnya memeriksa jari jari dan melepas sepatu fendi, siap menjemput 2 kelapa diatas sana.

Hela nafas Phuwin terdengar berat, semakin was was sorotnya kala si emas mulai naik memanjat, takut takut badan besar itu jatuh lantaran tak kuat menggenggam.

Namun lagi lagi om Tay disamping membaca guratnya, tekekeh pelan lantas kemudian bicara.

"khawatir heh?!"

To the poin, kalimat tanya itu segera buat Phuwin menoleh, lantas menggeleng cepat.

"Enggak"

Om Tay mengangkat alis.

"Haha, dasar anak muda"

Phuwin tidak menjawab.

Pria dewasa itu memutuskan untuk kembali menatap lurus, sedikit mendongkak pengawasannya tak lepas dari gerak gerik Nara diatas, tenang wajahnya tak sedikitpun menyirat risau, bersandar pada punggung kursi sambil sesekali menghisap tembakau yang tercapit dijari.

RASAKRASI [ pondphuwin | bxb ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang