𝕊𝕚𝕒𝕡𝕒 𝕪𝕒𝕟𝕘 𝕛𝕒𝕙𝕒𝕥

890 109 78
                                    

.
.
.

"Kalo mulai sekarang, keselnya lampiasin ke peluk aku aja, bisa ga?"

Seutas kalimat dari si tersayang itulah yang dengan ajaibnya mampu mengurung gejolak emosi Nara, buat makan malam berlangsung baik baik saja, meski tak bisa dipungkiri muak merajarela kala sang ketua MPR dengan tak tau dirinya mengumumkan maklumat perjodohan depan seluruh keluarga.

Makan malam seketika hampa, hangatnya tak lagi tersisa, meski lilin lilin masih tinggi menyala, juga alunan dari merdu instrumen gamelan, lantaran semua orang sibuk dengan masing masing tanda tanya dalam pikiran.

"Nata dengan Raden itu memang cocok, ayu dan gagah, akan bawa aura positif bagi masyarakat"

Itulah awal mula kalimat dari Sapol yang segera saja membekukan udara, hampir semua berhenti mengunyah apalagi Nara, Namun justru sebaliknya, sang ayah di depan sana tersenyum seolah berkata iya.

"Saya setuju, memang Nata ini semakin dewasa semakin terlihat cantiknya, mana pintar pula"

Si anggun itu menunduk, rendah hati akan apresiasi dari sang presiden. Berbeda dengan teman temannya yang kini mendongkak terang terangan.

Nara yang sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan, segera saja mengepalkan tangan, semakin tegas rahangnya kala sang MPR disana terkekeh pelan.

"Sudah sama sama matang juga, tunggu apalagi? Nanti biar tidak khawatir saat lanjut kuliah ke Amsterdam, sudah saling menjaga satu sama lain"

"Benar sekali Sapol, itu yang saya pikirkan, Nata ini permata, harus ada yang menjaga"

Lagi lagi si ketua MPR terkekeh senang

"Kita tanya dulu radennya mau tidak"

"Sudah pasti mau"

"Tanyakan saja dulu, Wayar"

Tidakkah mereka lihat urat urat telah menjalar kentara di lengan Nara?

"Bagaimana, Raden? Mau tidak?"

Meski matanya terus memandang piring di meja, Ia tau sang ayah sedang menatap tajam disana, mengancam seolah sejuta siksa akan segera tiba jika ia berkata tidak.

Hening menggantung cukup lama.

Presiden Wayar telah sama marahnya.

Untungnya Sapol mengerti situasi, segera saja ia kembali bicara mengambil alih atensi

"tidak apa apa Raden, tidak perlu dijawab sekarang"

Ucapnya lembut.

"Dipikir pikir saja dulu"

Setidaknya, kalimat itu mengurangi kadar tegang dalam ruang meski hanya nol koma sekian persen.

Nara marah, sangat marah, ingin rasanya saat itu juga ia berteriak menolak, membanting piring piring, menghancurkan kursi kursi, meninju, mencekik, membunuh siapapun dalam jangkauan tangannya, memberi tau sekeras apa kata penolakan mengudarap tak peduli akan semelambung apa resiko yang menanti,

Namun lagi lagi, ucapan si lusuh kian hari seolah berulang kali membelai hati, tak henti redakan gelora yang membara disana, pelan pelan memberitau bahwa mengamuk bukanlah hal yang tepat, bahwa dirinya tidak sama seperti para penjahat.

Lantas kemudian hal itu berhasil, buat makan malam senantiasa damai hingga detik terakhir.

"Nara"

Lamunan pecah, flashback sekian jam lalu terhenti kala suara khas itu memanggil namanya, buat Nara refleks menoleh.

RASAKRASI [ pondphuwin | bxb ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang