𝔻𝕚𝕒𝕣𝕪 𝕤𝕒𝕟𝕘 𝕙𝕒𝕜𝕚𝕞

588 92 37
                                    

.
.
.

"Nata?"

Sang putra mahkamah memasuki kamar agak tergesa, lantaran tuai pesan dari sang permata tadi memang sudah seharusnya diberi tanda tanya, menyesal? Oh, itu bukan Nata yang seharusnya.

"Acen"

Sahut yang sedang duduk disofa kala menyadari yang ditunggu telah tiba, perlihatkan wajah khawatirnya yang mengudara. Lebih kentara ketika ia juga duduk disampingnya, memastikan semuanya memang baik baik saja.

Ditelisik retina serta aroma itu memastikan tak ada alkohol yang bersarang disana, diperiksa juga suhu tubuhnya buat Nata mengerutkan alis seketika.

"Kenapasi"

Ujaran bingung itu buat yang lebih tua berhenti.

"Kamu tidak dalam pengaruh apa apa kan?"

Nata mendengus, mencubit pelan lengan lawan bicaranya.

"aw.."

"Pikiran kamu jelek Acen!"

Tukasnya dengan bibir mengerucut kebawah, lantas kembali bersandar diatas sofa, membuat sang putra mahmakah menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bagaimanalah ia tidak curiga jika Nata yang terkenal pembenci kecoa tiba tiba saja menaruh iba pada satu mangsanya.

Hening sejenak.

"Maaf"

Archen bisa melihat tatap si cantik itu kini jatuh kebawah.

"Memangnya kenapa Nata merasa bersalah? Tiba tiba sekali"

Tanyanya lembut buat sang permata kemudian menghela nafas berat, lentik jari itu membolak balikan handphone ditangannya.

"Acen"

Tak kalah pelan suara primadona itu kini kembali menatap pria disampingnya.

Yang ditatap sabar menunggu.

"Aku baca diary kamu"

Ia sempurna mematung.

"tadi aku pindahkan isi koper ke lemari, tidak sengaja lihat itu, aku penasaran"

sial!

"Acen"

Panggilnya lagi pada yang sedang bungkam.

"Kenapa tidak bilang?"

Tamat sudah seluruh hidupnya.

.
.

Dalam buku 100 lembar dengan corak abu tua,
Selalu dibawa disetiap langkahnya,
Disana, Sang hakim menulis cerita.

Halaman 30
Ada aksi demo lagi, pusatnya ditaman ibu kota, kemacetan dimana mana, beban sekali.

Halaman 31
Aku mengantar Nata membuat laporan, datang ke lokasi dan memeriksa cctv ruko disana, benar ternyata, aktivis itu bertubrukan dengan Nara, topengnya lepas membuat wajahnya terlihat jelas, Phuwin namanya.

Halaman 32
Aku mengantar Nata ke kantor brimob, setelah identitas lengkap, akhirnya aktivis itu resmi jadi buronan, setelahnya kita pergi ke kantor media seputarnegara, membuat berita.

Halaman 33
Sangat tidak menyangka Nara akan begitu marah, aku tau Nara dan aktivis itu memang dekat sejak kecil, tapi aku pikir dia sudah tidak peduli.
Dia mengancam Nata. Sialan Nara!

Halaman 34
Nara marah, tapi Nata juga sama kesalnya, haha, aku mengerti sekarang, Nata cemburu.

Halaman 35
Hari ini Nata marah marah di kantor brimob, aku juga mengakui kinerja aparat memang sangat buruk.

RASAKRASI [ pondphuwin | bxb ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang