01: pertemuan di bawah payung

17 8 7
                                    


Caca memandang keluar jendela kelasnya yang berkabut, mengamati bagaimana tetesan hujan berlomba-lomba turun membasahi kaca. Di luar, halaman sekolah terlihat lengang, hanya beberapa siswa yang tampak terburu-buru berlari menuju gedung lain untuk menghindari basah. Suara hujan yang menderas memberikan ketenangan tersendiri baginya. Bagi Caca, hujan selalu membawa keindahan, meski langit tampak kelabu dan dingin menyelimuti suasana.

Bel tanda pulang berbunyi, membuyarkan lamunan Caca. Ia membereskan buku-buku dengan cepat, memasukkannya ke dalam tas dan segera menuju pintu kelas. Sekilas, dia melirik ke luar, berharap hujan akan sedikit reda, namun kenyataan berbicara lain. Hujan malah semakin deras, membuat banyak siswa enggan meninggalkan gedung kelas mereka.

Caca menghela napas panjang dan memutuskan untuk menunggu di depan pintu sekolah. Dia berdiri di sana, memperhatikan kerumunan siswa yang ramai di lobi. Beberapa dari mereka membawa payung, sementara yang lain sibuk menghubungi orang tua atau menunggu jemputan.

"Seandainya aku ingat bawa payung tadi pagi," gumamnya, sedikit kesal pada dirinya sendiri. Ia berusaha mengingat-ingat, namun tidak ada pilihan lain selain menunggu hujan mereda.

Saat itu, sebuah suara lembut menghentikan pikirannya. "Kamu mau pulang sekarang?"

Caca menoleh dan melihat seorang pemuda berdiri di sampingnya, mengenakan jaket hitam dengan tudung yang menutupi sebagian wajahnya. Dia adalah siswa yang baru pindah beberapa minggu lalu, tapi namanya belum terlalu dikenal di sekolah. Caca hanya ingat bahwa namanya Ardi, dan dia terkenal pendiam.

"Ya, tapi aku lupa bawa payung," jawab Caca dengan senyum kecil, mencoba mengatasi rasa canggung yang tiba-tiba muncul.

Ardi tersenyum tipis, lalu mengulurkan sebuah payung hitam yang terlipat rapi di tangannya. "Aku punya dua payung. Kamu bisa pakai yang ini."

Caca tertegun sejenak. Dia tidak menyangka siswa pendiam ini akan menawarinya payung, apalagi dia hampir tidak pernah melihat Ardi berbicara dengan orang lain. "Benarkah? Terima kasih banyak, Ardi," ucapnya, menerima payung itu dengan sedikit ragu.

"Ayo, aku antar sampai gerbang," kata Ardi sambil membuka payungnya yang lain dan melangkah keluar gedung.

Caca mengikuti Ardi keluar, dan segera merasa nyaman di bawah payungnya. Langit yang gelap dan suara hujan yang deras tidak lagi terasa menakutkan. Mereka berjalan berdampingan menuju gerbang sekolah tanpa banyak bicara. Caca merasa ada sesuatu yang berbeda pada Ardi, namun dia tidak bisa menebak apa itu. Mungkin, karena dia jarang melihatnya berbicara dengan siapa pun. Atau mungkin, karena suasana di bawah hujan membuat segalanya terasa lebih magis.

Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di gerbang sekolah. "Terima kasih lagi, Ardi. Aku akan mengembalikan payung ini besok," kata Caca sambil tersenyum hangat.

"Tidak perlu terburu-buru. Simpan saja dulu," jawab Ardi singkat sebelum melangkah pergi menuju arah yang berlawanan.

Caca memperhatikan sosok Ardi yang perlahan menghilang di balik hujan deras. Ada perasaan aneh yang tumbuh di hatinya, sesuatu yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Mungkin hanya pertemuan singkat, namun dia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ini bukanlah akhir, melainkan awal dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang akan mengisi hari-harinya di musim hujan ini dengan warna yang berbeda.

Caca tersenyum kecil sambil memandang payung hitam di tangannya. Dalam hati, dia bertanya-tanya, apakah Ardi merasakan hal yang sama?

Kisah cinta Caca Di musim hujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang