2%

1 1 0
                                    

Meera itu cukup pintar, dia mendapat peringkat dua paralel di kelas sebelas. Tidak sedikit guru yang mengenalnya, tetapi meskipun begitu bukan berarti Meera adalah murid kesayangan guru. Meera sama sekali bukan murid kesayangan, bahkan cewek itu jarang bicara dengan guru selain untuk pelajaran.

Bukan hanya dengan guru saja, dengan teman sekelasnya sejak kelas sepuluh pun, Meera jarang sekali berbincang karena dia merasa hal itu tidak diperlukan. Setidaknya itu adalah anggapan Meera sekarang karena di awal-awal masuk SMA, Meera sempat dekat dengan beberapa orang yang ia anggap sebagai sahabat tetapi berakhir begitu saja.

Bisa dibilang bahwa Meera trauma.

Meskipun begitu, entah kenapa kali ini guru Fisika kelasnya meminta Meera dan Naila--teman sekelasnya--untuk mengantarkan buku tugas kelas 11 IPA 1 ke kelas mereka. Meera tidak menolak karena merasa bahwa hal itu tidak diperlukan, lagipula ini cuma sebentar.

"Ayo, Ra. Setelah ini gue mau ke kantin," ajak Naila.

Meera mengangguk lalu menumpuk barang-barang yang tadinya ia pakai ke tengah meja, lalu menindih barang-barang itu dengan tas ranselnya agar merasa aman.

***

Meera. Nama lengkapnya Meera Qabila, peringkat dua paralel sejak kelas sepuluh. Meera sudah berusaha keras, tetapi hingga saat ini ia belum bisa mengalahkan Abbas dan merebut posisi peringkat pertama.

Meera itu pendiam, tetapi tidak ada yang tau kalau sebenarnya Meera itu cukup cerewet bersama orang yang membuatnya nyaman. Namun hingga kelas sebelas pun, tidak ada yang bisa membuat Meera merasa nyaman di sekolah. Sebagai sahabat ataupun pacar.

Pintar, pendiam dan sunyi. Ciri khas seorang Meera.

***

Meera mengetuk pintu kelas 11 MIPA 1 yang tertutup rapat, Meera cukup heran karena biasanya jika jam istirahat seperti ini, pintu setiap kelas akan terbuka sedikit karena banyak murid yang keluar masuk. Apa 11 MIPA 1 tidak membuka pintu karena takut ruangannya tidak dingin?

Pintu kelas tersebut tetap tidak terbuka, dia dan Naila saling berpandangan. Apa masih ada guru di dalam?

Sekali lagi Meera mengetuk pintu, kali ini cukup kuat. Meera tidak takut meskipun ada guru di dalamnya, lagian ini sudah waktunya istirahat.

Sesuai harapan, pintu kelas itu terbuka lebar. Melihat siapa yang membuka pintu membuat Meera tanpa sadar mendengus kesal. Abbas. Saingannya.

"Ada apa, ya?" tanya Abbas.

"Ini buku tugas fisika kelas kalian," ucap Meera seraya mengulurkan kedua tangannya yang di atasnya terdapat tumpukan buku tulis.

Abbas mengambil alih buku-buku itu dari tangan Meera.

"Thanks," ucap Abbas diiringi senyuman yang sama sekali tidak Meera balas.

"Ini buku catatan fisika kalian, Bas," kata Naila karena dia diabaikan.

Abbas mengulurkan kedua tangannya yang terdapat tumpukan buku tugas, meminta Naila untuk meletakkannya di atas.

"Nggak apa-apa nih kalau ditumpuk sekaligus? Lumayan berat loh," kata Naila sebelum meletakkan buku catatan ke atas buku latihan.

Bagaimana tidak berat, buku yang digunakan adalah buku isi seratus dengan jumlah murid adalah dua puluh lima orang.

"Iya, nggak apa-apa, letak aja," balas Abbas.

Naila menurut dan meletakkan buku-buku itu dengan susah payah.

"Thanks, maaf ngerepotin kalian berdua," ucap Abbas.

Meera mengangguk lalu langsung pergi, meninggalkan Abbas dan Naila begitu saja.

"Sorry, Bas. Meera memang gitu, jangan tersinggung ya," kata Naila lalu tersenyum canggung. Apa yang dilakukan Meera tadi tidaklah sopan, tetapi pelakunya seperti tidak merasa bersalah membuat Naila merasa malu.

"Iya, nggak apa-apa. Santai aja." Tentu Abbas tidak mempermasalahkan sikap Meera itu, kan Abbas sama sekali tidak dirugikan.

"Gue pergi dulu, ya," pamit Naila.

"Iya, sekali lagi terima kasih."

Berbeda dengan Naila yang merasa sungkan dengan Abbas, Meera yang merupakan pelakunya sama sekali tidak merasa bersalah. Melihat Abbas sama saja dengan mematik emosinya.

Meera tidak kembali ke kelas, dia menuju ruang ekskul mading yang letaknya tidak jauh dari kelas 11 MIPA 1. Ruangan itu tidak dikunci jadi Meera bisa langsung masuk, ada beberapa orang di dalamnya, Meera tersenyum singkat pada mereka sebelum duduk di tempatnya sendiri.

Posisi Meera di ekskul mading bukan ketua, hanya anggota biasa karena cewek itu sama sekali tidak berminat untuk memiliki posisi penting di ekstrakurikuler. Lagipula dia sudah kelas dua belas, tidak lama lagi akan ada pergantian pengurus dan Meera tidak bisa ikut lagi. Jadi, sebelum benar-benar menjadi mantan anggota, lebih baik Meera memanfaatkan ruangan ini dulu.

Meera mengeluarkan handphone dari saku roknya, melihat note di handphone lalu menghela napas pelan.

600+75+50+30

Hanya itu yang tertulis pada salah satu halaman note di handphone Meera. 755. Bukanlah angka yang membuat Meera merasa puas.

"Meera." Panggilan itu disertai tepukan pelan di bahunya.

"Iya?" balas Meera, tubuhnya miring sembilan puluh derajat untuk menatap lawan bicaranya.

"Ada lomba essay, tapi deadline pengirimannya nanti malam. Lo mau ikut?" tanya Kalila, dia salah satu anggota ekskul mading juga.

Meera mengangguk dua kali. "Tolong lo kirim ke gue, ya, biar bisa gue baca ketentuannya."

Kalila mengangguk dengan ragu. "Lo yakin mau ikutan? Deadline-nya nanti malam, apa waktunya cukup?"

"Bisa gue usahakan." Meera mengatakannya dengan yakin, notifikasi yang masuk ke handphone Meera membuat cewek itu langsung berdiri dan mendorong kursi yang tadi dia duduki ke dalam meja.

"Terima kasih, ya, Kalila."

Kalila mengangguk lalu tersenyum. "Semangat, Meera."

Meera mengangguk lalu membalas senyuman Kalila, cewek itu sudah sangat membantunya. Meera keluar dari ruang ekskul lalu menuju ke perpustakaan, sekilas cewek itu melirik jam tangannya. Waktu istirahat tinggal dua puluh menit lagi, Meera rasa waktu segitu cukup untuk mencari bahan, jika kurang maka dia akan mencari referensi di internet.

Tema essay tersebut adalah lingkungan, cukup umum, tetapi Meera harus mengerjakannya dengan totalitas. Waktunya memang singkat tetapi Meera harus mendapatkan juara pertama.

Meera sudah memikirkan apa saja yang akan ia tulis nantinya, kini pikiran cewek itu hanya fokus pada lomba essay yang akan ia ikuti. Sampai Meera lupa bahwa dia belum makan siang, istirahat pertama tadi ia habiskan untuk menonton video pembelajaran. Niatnya Meera akan makan setelah menghabiskan waktu beberapa saat di ruang ekskul.

Sesampainya di perpustakaan, Meera mengeluarkan kartu pelajar dari dalam casing handphone-nya, tempat biasa Meera menyimpan kartu pelajar serta uang agar mudah mengambilnya. Kemudian Meera mengarahkan kartu pelajarnya pada barcode scanner agar kunjungannya ke perpustakaan ini terdata.

Waktunya berkurang tiga menit untuk perjalanan, Meera berlari menaiki tangga agar tidak banyak waktu yang dia habiskan.

Bagi Meera, waktu yang dia miliki tidak boleh terbuang sia-sia.

***

Jum'at, 16 Agustus 2024

LOADINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang