"Selamat datang, Voni sayang."
Pipi kanan dan kiri Voni dicium oleh seorang wanita paruh baya, tas yang daritadi disandangnya dilepaskan oleh wanita itu dan diberikan kepada salah satu pelayan yang berada tidak jauh dari mereka.
"Lepas dulu sepatu sama kaos kakinya," titah wanita itu dan langsung dituruti oleh Voni, setelah sepatu serta kaos kakinya lepas, sandal berbulu berwarna pink yang kini menjadi alas kakinya.
Pelayan lainnya mengambil sepatu serta kaos kaki tersebut.
"Kamu ke kamar ya. Ingat, langsung mandi," titah Rosalind--mamanya Zvonimira--seraya mengusap punggung putrinya.
"Iya, Ma."
***
Voni. Nama lengkapnya Zvonimira Xantina Arshavina. Putri tunggal Rosalind dan Darren, pergerakannya selalu terbatas karena kedua orang tuanya selalu membatasi.
Voni diberi banyak hal, dia pun tidak kekurangan kasih sayang, selalu bisa mendapatkan apapun yang diinginkannya, tetapi tetap saja Voni tidak mendapat kebebasan seperti teman-temannya yang lain.
Cantik, penurut dan tak tersentuh. Ciri khas seorang Zvonimira.
***
Zvonimira duduk di kursi riasnya, berhadapan langsung dengan cermin berukuran besar yang menampilkan wajahnya. Terlihat juga tiga orang pelayan yang berdiri di sekelilingnya, satu pelayan sedang menyisir rambut panjang sepunggungnya, satu pelayan lainnya sedang memakaikan bedak di wajahnya. Satu pelayan lagi hanya berdiri, di tangannya terdapat bandana berwarna putih yang nanti akan dipakai oleh Zvonimira setelah rambutnya selesai disisir.
Apa Zvonimira merasa risih diperlukan seperti itu? Jawabannya tidak, itu karena Voni sudah merasakan hal seperti ini sejak kecil. Kedua orang tuanya tidak membiarkan Voni melayani dirinya sendiri, mereka selalu menugaskan beberapa pelayan untuk membantu Voni. Bahkan untuk hal sepele seperti menyisir rambut dan memakai bandana.
"Sudah selesai, Nona," ucap salah satu pelayan setelah memakaikan bandana di kepala Voni. "Nyonya Rosalind mengatakan kalau Nona sudah selesai, Nona langsung turun ke ruang makan."
Voni mengangguk, matanya masih menatap pantulan dirinya di cermin. Tidak ada yang dia lakukan, tetapi rasanya begitu lelah.
"Kalian keluar saja dulu," ucap Voni, dia ingin menghabiskan waktu sendiri, setidaknya untuk sebentar.
"Maaf, Nona. Nyonya Rosalind meminta Nona untuk langsung makan, Nyonya Rosalind khawatir kalau Nona akan sakit," balas pelayan yang tadi merias wajah Voni.
"Baiklah."
Lagi-lagi Voni harus menurut dan menekan keinginannya, meskipun itu hanya sekedar menghabiskan waktu sendirian di dalam kamar.
Ketiga pelayan tadi mengikuti Voni dari belakang, seolah khawatir jika terjadi sesuatu pada anak majikannya itu. Padahal Voni hanya berjalan menuju ruang makan yang letaknya di lantai dua.
Kamar Voni berada di lantai tiga, ada lift yang menjadi alat bantu untuk memudahkan mereka naik turun, lebih tepatnya lift itu dibuat khusus untuk Voni agar dia tidak kelelahan.
Saat berada di depan pintu lift yang tertutup, seorang pelayan yang tadi berdiri di belakang Voni langsung menekan tombol agar lift terbuka. Pintu itu langsung terbuka karena tidak ada yang sedang menggunakan lift, dua orang pelayan masuk terlebih dahulu, seolah memastikan bahwa tidak ada yang berbahaya di dalam lift itu.
"Silahkan, Nona."
Setelah Voni masuk, barulah satu pelayan tadi ikut masuk.
Hanya satu lantai, jika bisa memilih maka Voni akan memilih untuk menggunakan tangga saja. Seingatnya sejak kecil, Voni jarang sekali menggunakan tangga.
Pintu lift terbuka, pelayan yang terakhir masuk ke dalam lift tadi, dia yang pertama kali keluar. Barulah Voni diikuti dua pelayan lainnya.
Benar-benar merepotkan, batin Voni.
Bukannya Voni tidak pernah protes untuk semua ini, tetapi jawaban kedua orang tuanya yang membuat Voni tidak berkutik.
"Papa tidak mau Voni kenapa-napa, Papa mau Voni aman dan terhindar dari bahaya. Bisa saja kan lift-nya tiba-tiba macet, nanti Voni takut kalau terkunci sendirian. Makanya ada pelayan untuk jagain Voni."
Itu adalah jawaban Darren ketika Voni meminta agar tidak ada pelayan yang mengikutinya.
"Kalau satu pelayan tiba-tiba tidak bisa membantu Voni, maka anda pelayan lainnya yang bisa melakukan itu. Makanya ada beberapa pelayan yang jagain Voni, tidak bisa satu orang saja."
Itu adalah jawaban Rosalind ketika Voni meminta agar hanya ada satu pelayan yang mengikutinya, tidak perlu lebih.
Sejak saat itu, Voni tidak pernah protes lagi tentang pelayan yang mengikutinya meskipun hanya di dalam rumah.
Sesampainya di ruang makan, sudah ada dua orang pelayan yang berdiri di dekat meja makan. Salah satu dari mereka menarik sebuah kursi yang akan diduduki Voni, sedangkan yang lain membalik piring dan menyiapkan sendok serta garpu.
"Saya tidak mau brokoli," ucap Voni saat pelayan yang sedang mengisi piringnya itu menambahkan brokoli rebus ke dalam piringnya.
"Maaf, Nona. Nyonya Rosalind mengatakan kalau Nona harus memakan semua hidangan yang ada di sini, meskipun hanya sedikit."
"Aku tidak akan mengatakan apapun pada mama, jadi tidak perlu khawatir," balas Voni.
Brokoli rebus adalah makanan yang Voni hindari karena bagi Voni, rasanya hambar.
"Ada CCTV di ruangan ini, Nona."
Voni mengepalkan kedua tangannya yang terletak di samping tubuh. Rumah mewah, banyak pelayan, bisa memiliki barang apapun yang diinginkannya, tetapi untuk menolak makanan yang kurang disukai pun, dia tidak memiliki hak.
***
Sudah lebih dari sepuluh kali Meera membaca essay yang dibuatnya, memastikan tidak ada kesalahan apapun, seperti typo, salah penempatan titik dan koma, ataupun antar kalimat yang kurang nyambung.
"Ini udah pas, gue yakin," gumam Meera.
Handphone yang tadinya ia letakkan di atas tempat tidur langsung ia ambil untuk melihat alamat e-mail yang dituju untuk mengirim essay ini. Setelah mengirimkan essay tersebut, Meera mengambil tangkapan layar di laptop-nya sebagai bukti bahwa dia sudah mengirim dan bukti itu akan ia kirim ke contact person.
"Akhirnya siap," gumam Meera.
Essay sudah terkirim dan buktinya pun sudah ia kirim juga.
Sudah pukul sepuluh malam dan Meera belum makan malam, makan siang pun belum, dia hanya memakan satu bungkus wafer sore hari tadi.
Perutnya baru terasa lapar, mungkin karena tadi dia tidak memperdulikan urusan perut. Meera menimbang, dia harus makan atau tidak? Sudah semalam ini. Namun perutnya benar-benar lapar, akhirnya Meera memutuskan untuk keluar dari kamar dan menuju dapur. Tadi mamanya bilang ada makanan yang disisihkan untuk Meera, disimpan di dalam lemari makanan.
Meera menghidupkan lampu dapur kemudian membuka lemari makanan, memang ada makanan yang disimpan, Meera mengambil dua mangkuk di dalamnya, satu berisi capcay dan satu lagi berisi ikan bakar. Setelah meletakkan kedua mangkuk itu di atas meja makan, Meera mengambil piring dan sendok dari rak piring, barulah mengambil nasi di dalam rice cooker.
Biasanya Meera tidak pernah makan semalam ini, tadi saja mamanya sempat marah karena Meera lebih mementingkan essay dibandingkan makan malam.
"Makan itu lebih penting daripada kamu ikut lomba kayak gitu, Meera. Kesehatan jauh lebih mahal daripada poin yang kamu kejar."
Ucapan mamanya tadi terus berputar di kepala Meera.
"Tapi dengan mendapatkan banyak poin, aku ngerasa kalau aku bisa mengurangi beban mama sama papa," monolog Meera.
***
Senin, 19 Agustus 2024

KAMU SEDANG MEMBACA
LOADING
Fiksi RemajaSetiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing. Start: 15 Agustus 2024 Finish:?