Di kantor penerbitnya yang biasanya tenang, Dohoon tiba-tiba merasa dunia berputar lebih cepat saat Hanjin menyampaikan sebuah berita yang mengagetkan. Hanjin, manajer sekaligus editornya yang sudah lama mendampinginya, tampak antusias ketika menjelaskan bahwa Dohoon baru saja mendapatkan sebuah undangan untuk menjadi pembicara di sebuah seminar mahasiswa.
Dohoon memandang Hanjin dengan tatapan bingung. "Menjadi pembicara? Di seminar mahasiswa?" tanyanya, setengah tidak percaya. "Bagaimana bisa aku yang terpilih?"
Hanjin tersenyum, senang melihat reaksi temannya. "Ya, benar. Kamu terpilih berdasarkan hasil pemungutan suara terbanyak dari mahasiswa. Mereka sangat mengagumi karya-karyamu dan ingin mendengarmu berbicara tentang proses kreatifmu."
Dohoon terdiam sejenak, mencerna informasi yang baru saja diterimanya. "Tapi... aku tidak pernah bicara di depan banyak orang sebelumnya, apalagi di kampus yang cukup ternama di kota."
Melihat keraguan di mata Dohoon, Hanjin mendekat dan menepuk bahunya. "Ini adalah kesempatan bagus, Dohoon. Kamu bisa berbagi pengalaman dan inspirasimu dengan banyak orang. Mereka memilihmu karena mereka percaya kamu punya sesuatu yang berharga untuk disampaikan."
Dohoon masih ragu. Ia memang terbiasa dengan menulis di balik layar, tetapi berbicara di depan publik adalah hal yang berbeda. "Hanjin, aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya."
Hanjin mengangguk dengan pengertian. "Aku tahu ini mungkin menakutkan, tetapi coba pikirkan ini sebagai cara untuk keluar dari zona nyamanmu. Kamu selalu bisa mengandalkan kami untuk mendukungmu. Dan lagipula, ini akan memberikan eksposur yang baik untukmu dan bukumu."
Dohoon hanya bisa mengangguk perlahan, meskipun hatinya masih dipenuhi kecemasan. Setelah selesai berdiskusi dengan Hanjin, Dohoon meninggalkan kantor dengan pikiran yang penuh.
Dalam perjalanan pulang, pikiran Dohoon terus berputar-putar, mempertimbangkan tawaran tersebut. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan cemas yang menggantung di hatinya, tetapi di sisi lain, ia juga merasa ada kesempatan besar yang terbuka di depannya. Mahasiswa-mahasiswa itu telah memilihnya, itu artinya mereka benar-benar menghargai karyanya dan ingin mendengarnya berbicara.
"Apa yang harus aku katakan? Bagaimana jika aku tidak bisa memenuhi harapan mereka?" Dohoon berbicara pada dirinya sendiri sambil menatap keluar jendela kereta yang membawanya pulang. Pemandangan kota yang melintas cepat di luar sana seolah menggambarkan pikirannya yang kacau.
Namun, ini adalah kesempatan untuk berbagi cerita dan proses kreatif yang selama ini hanya ia simpan untuk dirinya sendiri. Mungkin, dengan berbicara di depan para mahasiswa, ia bisa menginspirasi orang lain dan menemukan sisi baru dari dirinya yang belum pernah ia kenali sebelumnya.
Setibanya di rumah, Dohoon disambut oleh Shinyu si kucing yang berlari kecil menuju pintu, menggosokkan tubuhnya ke kaki Dohoon. Senyuman kecil muncul di wajah Dohoon melihat tingkah laku Shinyu yang manis.
Dohoon menghela napas panjang sambil memandang Shinyu. Sudah hampir dua minggu ini, Shinyu tidak pernah muncul dalam wujud manusianya, dan Dohoon merasa sangat merindukan kehadirannya yang hangat dan penuh semangat. Namun, Dohoon tahu bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kucing yang bisa berubah wujud sesuka hati itu.
Perasaan rindu dan keingintahuan terus berkecamuk dalam dirinya. Ia bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang mengganggu Shinyu atau apakah ia hanya butuh waktu untuk dirinya sendiri. Sambil memikirkan itu, Dohoon berjalan ke kamar mandi untuk mencuci tangan dan membasuh wajahnya, mencoba menyegarkan pikirannya.
Saat Dohoon keluar dari kamar mandi, ia tertegun melihat sosok yang sangat ia rindukan berdiri di hadapannya. Shinyu, dalam wujud manusianya, berdiri dengan senyum yang selalu berhasil menghangatkan hati Dohoon.
"Shinyu!" Dohoon hampir tidak bisa menahan kebahagiaannya. Ia segera melangkah maju dan memeluk Shinyu erat, merasakan kehangatan dan kenyamanan yang hanya bisa diberikan oleh sahabatnya itu.
"Aku merindukanmu," bisik Dohoon, matanya mulai berair karena kelegaan yang ia rasakan.
"Aku juga merindukanmu, Dohoonie," jawab Shinyu sambil membalas pelukan itu dengan hangat.
Setelah beberapa saat, Dohoon melepaskan pelukannya dan mengajak Shinyu duduk di sofa. "Ada banyak yang ingin kuceritakan padamu," kata Dohoon, suaranya terdengar agak lesu. Shinyu menatapnya dengan penuh perhatian, menyadari ada sesuatu yang mengganggu tuannya.
"Apa yang terjadi?" tanya Shinyu, suaranya lembut dan penuh perhatian.
Dohoon menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bercerita tentang undangan seminar yang diterimanya. "Aku mendapat undangan untuk menjadi pembicara di sebuah seminar mahasiswa. Mereka memilihku berdasarkan hasil pemungutan suara terbanyak. Hanjin bilang ini adalah kesempatan bagus, tapi... aku merasa sangat bimbang."
Shinyu menatap Dohoon dengan penuh pengertian, menyentuh wajah Dohoon dengan lembut. "Kenapa kamu merasa bimbang?"
Dohoon menghela napas lagi, menundukkan kepala. "Aku tidak terbiasa berbicara di depan banyak orang. Aku takut tidak bisa memenuhi harapan mereka. Dan lebih dari itu, aku takut mengecewakan diriku sendiri."
Shinyu tersenyum, matanya bersinar penuh keyakinan. "Dohoonie, kamu adalah penulis yang hebat. Karyamu sudah menginspirasi banyak orang. Kamu hanya perlu percaya pada dirimu sendiri. Mereka memilihmu karena mereka melihat sesuatu yang berharga dalam dirimu. Jangan biarkan rasa takut menghalangi kesempatan ini."
Dohoon menatap Shinyu, merasakan dorongan semangat yang mulai tumbuh dalam hatinya. Sentuhan lembut Shinyu di wajahnya memberikan kehangatan dan kenyamanan yang ia butuhkan. "Tapi bagaimana jika aku gagal? Bagaimana jika aku tidak bisa berbicara dengan baik?"
Shinyu tersenyum lebih lebar, menggeleng pelan. "Tidak ada yang sempurna, Dohoonie. Yang penting adalah kamu mencoba dan memberikan yang terbaik. Semua orang bisa melihat ketulusan dan usaha yang kamu lakukan. Itulah yang membuat mereka terinspirasi." Dohoon mengangguk perlahan, merasakan semangat dan keyakinan yang diberikan Shinyu.
Setelah berbagi cerita dan mendapatkan dorongan semangat dari Shinyu, Dohoon merasa sedikit lega. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal di pikirannya. Dengan rasa ingin tahu yang mendalam, Dohoon menatap Shinyu yang kini duduk di sampingnya di sofa.
"Shinyu," Dohoon memulai dengan nada hati-hati, "kenapa kamu lama sekali tidak berubah ke bentuk manusia? Apa ada sesuatu yang terjadi?"
Shinyu, yang masih mengenakan senyum lembut, tiba-tiba tampak lebih serius. Ada keraguan yang melintas di matanya, seolah-olah ia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan sesuatu yang sangat penting. Dohoon bisa melihat bahwa Shinyu berjuang dengan jawaban yang akan diberikan.
"Dohoon," Shinyu memulai, suaranya tampak berat dan penuh penyesalan, "berubah atau tidaknya aku ke bentuk manusia sebenarnya bukan sepenuhnya keinginanku. Ada hal-hal yang tidak bisa aku kendalikan."
Dohoon menatap Shinyu dengan penuh perhatian, semakin penasaran. "Apa maksudmu? Apa yang terjadi, Shinyu?"
Shinyu menarik napas dalam-dalam, seolah berusaha menyiapkan dirinya untuk mengatakan sesuatu yang sangat sulit. "Sebenarnya, waktuku mungkin tidak lama lagi."
"Apa?"To Be Continued...
- 16.08.2024 -
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Learn To Meow 学猫叫 😺 | Doshin ♡
FanficKim Dohoon pemuda yang berprofesi sebagai seorang penulis novel misteri yang tiba-tiba menemukan kucing di makam orang tuanya dan memutuskan untuk membawanya pulang ke rumah sebagai referensi untuk karya novel misteri barunya. Dohoon tidak tahu bah...