BAB. 1

76 22 3
                                    

Hai, aku Dika, seorang hanya remaja biasa, tidak ada yang spesial dariku. Hanya seperti orang biasanya. Dan dimana aku sekolah bukan hal yang penting jadi kalian tidak perlu tahu. Tapi tunggu, yang ingin aku ceritakan adalah pengalamanku ketika harus mengembalikan sebuah kalung milik makhluk dimensi lain. Ya, dia adalah makhluk dimensi lain. Ini bermula saat aku berumur 15 tahun, saat aku baru menginjak sekolah menengah atas. Di pagi yang cerah.

DRET. Bunyi handphone-ku berbunyi nyaring tepat di telingaku. Tapi bunyi itu dikalahkan oleh rasa kantuk ku. Aku menutup telingaku dengan bantal. Menutup rapat-rapat lubang telinga. Cahaya matahari mulai menyinari kamarku.

"Bangun, koala gede!" sebuah pukulan telak mengenai tubuhku, membuat terbangun dari posisi tidur, hingga netraku melihat Ali berdiri tepat di depanku. Dengan mengenakan seragam lengkap dengan dasi yang melihat tampak gagah.

"Masih bengong, cepat mandi sono!" Ali mendelik kesal. Sebelum dia tambah kesal aku balik kanan menuju kamar mandi. Masuk, mandi, dan mengenakan seragam. Begitulah pagi ku dimulai. Aku tak sempat sarapan karena sudah kesiangan, lagi pula Ali sudah menungguku di bawah. Dia sedang mengenakan sepatu.

"Yaelah, ga sabaran," ujarku bergegas menuruni anak tangga. Terlihat Ali hampir siap mengenakan sepatu miliknya.

"Oke. Kutunggu tapi jangan lama-lama." Desaknya menaiki tangga.

Aku melihat punggung besar itu berjalan menyusuri tangga. Entah apa yang dia ambil. Tidak sempat memperhatikannya, lagipula aku masih memasang sepatu. Sekian menunggu, Ali masih belum muncul dari lantai atas.

"Lama kali tuh anak, tadi nyuruh ngebut," desis ku kesal. Sembari menghentakkan sepatu, hingga terdengar ketukan irama. Sesekali aku melirik jam tangan. Mulai cemas.

Lima menit kemudian Ali turun menuruni tangga, dengan cepat menepuk pundakku. "Yok, gas! Udah telat nih.". Aku hanya bernafas pelan menghadapi temanku ini. Lalu mulai melangkahkan kaki menuju pintu depan. Ternyata di luar sana sudah ada yang menunggu.

"Hai, Dika." Di depan pintu ternyata sudah disambut lambaian cewek yang menunggu dengan senyum manisnya. Ia menyibak anak rambut yang mengenai matanya, mukanya tertunduk. Merona. Tina ~teman sekelas ku~ ternyata sudah berada di balik pintu saat aku membukanya.

"Hai, Tin. Kamu dari tadi nungguin?" tanyaku sembari menggaruk tengkuk, berusaha berbicara dengan normal.

"Enggak juga kok, yuk berangkat!"

***

Kami bertiga berjalan menyusuri jalan ke sekolah, hari ini pagi yang cerah sebenarnya, hanya saja karena telat membuat suasananya berubah seratus delapan puluh derajat. Tapi itu sedikit terobati ketika Tina menyapa pagiku.

"Dik, Lo ada janjian sama Tina? Kok dia mau bareng sama lo," bisik Ali membuat rusuh gendang telingaku.

"Ck'... Gue ga ada janji sama Dia, mungkin aja dia ga ada teman bareng ke sekolah makanya ngajak kita."

"Kita?? Dia ga ada ngajak gue, ga denger kau tadi, Dia cuma bilang Hai, Dika." Ali berseru protes. Kali ini aku benar-benar tidak tahan, ingin segera menimpuk si Ali dengan sesuatu.

"Eh? Kalian ngomongin apa? Cepat kita udah telat banget ini," Tina melihat kami yang ribut. Menyelidik.

"Ga ada kok Tin, ini tadi aku ada nyamuk gigit."

Jujur saja, aku sulit untuk berbicara dengan orang lain. Hanya satu dua orang yang akrab denganku. Lagi pula aku berbeda dengan cowok lain yang punya segalanya. Bahkan aku bergantung pada Ali, jika saja Dia tidak memperbolehkan aku tinggal di rumahnya. Mungkin, aku sudah menjadi pemungut sampah di jalanan. Orangtua ku sudah lama meninggal, sejak aku masih bayi, jadi aku tidak mengenal mereka.

Misteri Haguang YangshiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang