BAB. 3

24 12 0
                                    

Pukul dua siang.
Aku sekarang berada di depan bangunan tua terbengkalai itu, hanya menyisakan rangka bangunan, dijarah tanaman merambat, dan berbau busuk. Di gerbang depan tertulis kata dalam aksara Cina kuno ~walau aku tidak bisa membacanya aku yakin itu bertuliskan Haguang Yangshi.

Lima menit berlalu, aku menatap bangunan di depan mataku, membulatkan tekad, lalu melangkah masuk. Seketika atmosfer disini menjadi mencekam.

"Gue pasti bisa, ini cuma bangunan tua."

Aku sudah berada tujuh langkah dari pintu masuk, dengan satu lorong lurus ke depan, di dinding bangunan ini juga terdapat lukisan-lukisan yang sulitku pahami. Sepertinya karya zaman Tiongkok kuno.

Aku sekali lagi membulatkan tekad, kembali melangkah masuk. Sepuluh langkah, dua puluh langkah, hingga aku tiba di aula. Ruangannya sangat luas, dan terdapat pentas dengan tirai merah menutupinya.

"Ini... Sepertinya bangunan opera, banyak kostum dan aksesoris yang biasa dipakai oleh orang opera yang kuliat di TV," gumamku menebak.

Sebelum aku memeriksa seluruh isi ruangan ini, tirai merah mulai dihembus angin, cahaya disini seperti mulai di telan kegelapan.

Tiba-tiba sebuah suara memekikkan telingaku. Suara yang amat kencang.

"Mau apa kau kesini lagi? Pergi!!

Suara seorang perempuan yang entah darimana memekik kencang, aku reflek menutup kuping. Walau begitu ini tidak berguna, suaranya begitu keras, aku masih bisa mendengarnya.

Slap. Suaranya terhenti, angin di ruangan mulai menghilang, dan cahaya dari langit-langit yang bolong kembali seperti semula.

"Udah berhenti? Mending gue keluar s'karang," ucapku berlari keluar bangunan berhantu ini.

Cahaya kembali muncul, suara itu lenyap. Aku mendongak lalu memutuskan keluar dari bangunan ini segera. Secepat apapun aku berlari aku masih merasakan ada yang menguntitku, seperti sesosok mata yang mengejar.

Aku berhasil keluar lima menit kemudian, aku menghela napas lega, setidaknya di luar sini tidak pengap dan gelap. Kicau burung terdengar bersahutan, mobil lalu lalang di jalan raya. Tapi, aku masih berlari menjauhi bangunan angker itu.

Aku menoleh ke belakang, memastikan, selintas aku melihat sosok berhoddie gelap yang berdiri di dekat Haguang Yangshi. Dia seperti sedang melakukan sesuatu, tapi aku tidak tahu pasti.

"Siapa dia? Apa yang dilakukannya di sini?"

Suara klakson di jalan raya, pedagang sales yang sibuk melayani pelanggan, sekarang aku berjalan menyusuri trotoar. Sekarang aku berjalan tanpa arah, bahkan aku tidak fokus. Sesekali menabrak pengguna jalan lain.

PRIT.

"Mau kemana, Lo?" tanya Ali dari balik kaca mobil pick up milik Koh Along. Dia pasti sedang membawa keperluan kedai Koh Along.

"Ga ada, gue cuman jalan-jalan," jawabku kosong menatap trotoar.

Ali tidak langsung menjawab. Dia berpikir sejenak, lalu mangut-mangut seperti paham yang kualami.

"Gue tahu," wajahnya menyeringai, "Lo habis ditolak Tina, 'kan? Dia pasti sudah di jodohkan oleh bapaknya itu."

Aku tertawa mendengar jawaban Ali, dia juga ikut tertawa. Dirinya bahkan menepuk nepuk perut menahan tawa, tangannya yang lain mengusap mata.

Lima menit berlalu, dia masih tertawa ~walau tersendat-sendat. Jalanan sepi, tidak ada yang melintas di atasnya.

PLAK. Aku melempar sendalku ke arahnya, "gue ga ditolak Tina, lagian tadi cuma ketemuan biasa. Gue pusing mikirin hal lain, otak gue buntuh!"

Misteri Haguang YangshiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang