BAB. 7

11 5 2
                                    

Siang hari.
Kami menyusuri jalan kota menuju rumah, jalanan tampak ramai. Cuaca terik menyengat kulit, keringatku bercucuran.

Penjual asongan terlihat berteriak di trotoar, menjajakan dagangan masing-masing. Ali di sampingku bernyanyi samar, aku tidak bisa mendengar jelas liriknya, tapi dia tampak menikmatinya.

Sepuluh menit kemudian lengang, tidak ada lagi penjual yang sibuk berteriak, juga Ali. Dia sekarang diam.
Jalanan sepi, tidak ada mobil lalu lalang. Aku menatap sekitar yang kosong melompong, hanya bangunan pusat kota yang terlihat kejauhan.

"Lu tadi kemana?" Ali memecah keheningan, tangannya di belakang kepala.

"Kemana apanya?" Aku balas bertanya, tidak fokus mendengar.

"Sejak tadi lu ga ada di kelas."

Aku menyipitkan mata, kenapa dia harus membahas itu sekarang? Jelas ini karena buk Wati yang cerewet. Dia bahkan tega menghukum siswa pada hari pertama mereka sekolah.

Sebagai jawaban aku mendengus. Ali di sebelahku beralih ke topik lain.

"Nanti sore gue mau ke kedai Koh, lu ikut?" tanyanya menatap ekspresi masam di wajahku.

"Atau lu mau ketemu orang itu lagi? Ya... Gue paham, lu sibuk buat masa sekarang."

Angin berhembus menerpa rambut kami, sinar matahari mulai memanggang. Ali masih menunggu jawaban dariku, jalanan tampak ramai kembali, satu dua mobil melintas.

"Gak, gue nanti-" seruku terhenti. Netraku menangkap bangunan opera tua itu, kami sekarang berada di seberang jalan Haguang Yangshi.

Ali menatap menyelidik, wajahnya penasaran. "Napa lu? Ga kesambet kan?"

Aku masih termangu, ada seseorang di lorong bangunan itu. Perempuan mengenakan gaun berlumuran darah, dengan tatapan kosong melirik ke arahku. Demi melihat itu, aku menelan ludah. Apa dia hantu?

"Oi, lu kenapa?" Suara Ali merambat di udara, berbisik ke telingaku.

Aku menggeleng lantas kembali berjalan, mungkin saja aku hanya salah lihat. Tidak ada hantu di dunia ini.

***

Sore hari pukul 17:23, Ali berangkat ke kedai Koh Along, hari ini kedai kembali buka ~Koh Along sudah sembuh sejak penyerangan pertama. Senyap, meninggalkan kipas angin yang terus berputar di dalam kamarku.

Bola panas raksasa mulai tenggelam, menyisakan cahaya merah kekuningan. Aku menatap keluar jendela, ada sesuatu yang janggal dalam pikiranku.

Pertama, tentang Haguang Yangshi misterius itu. Bangunan terbengkalai dihuni oleh roh-roh jahat. Kedua, cerita yang disampaikan Fay semua hal tentang kekuatan spirit. Lalu... Bagaimana aku mencari Teratai Suci yang diminta olehnya.

Semua pikiran ini membuatku tidak fokus, apa kehidupanku akan berubah hanya karena aku mewarisi kekuatan itu? Entahlah.

Waktu berjalan cepat, matahari digantikan bulan purnama. Dari atas terlihat lampu-lampu rumah warga, suara jangkrik terdengar mendesing.

"Mending gue turu, daripada mikiran hal ga jelas." Aku meraih selimut, menutupi kaki hingga dadaku.

BUM. Belum selesai aku menutup mata, dari luar terdengar sesuatu yang jatuh, seperti benda berat jatuh dari langit. Diikuti suara ketakutan warga yang remang-remang terdengar.

Aku bergegas turun ke lantai satu, pasti ada hal buruk sedang terjadi. Benar saja, saat aku membuka pintu jiangshi dan makhluk serigala sudah berkeliaran. Mereka menyerang, merusak apapun yang ada di hadapannya.

Aku menggeram, mengepalkan tangan yang mulai mengeluarkan cahaya. Aku berlari menerjang serigala yang sedang berlari menuju sebuah ruko. Tinjuku telak mengenai tubuhnya, terhempas ke dinding.

Dari belakang seekor serigala kembali menyerang, aku refleks mengambil tongkat kayu lantas menghantamnya ke arah serigala yang hendak menerkamku.

Atmosfer mencekam muncul, kali ini mereka mengepung diriku ~tidak hanya serigala tapi juga jiangshi. Hingga dua ekor serigala menyerang serentak, tapi mereka salah membuat keputusan.

Whoosh.

Fay datang membantu, ~ia muncul dengan teknik teleportasi miliknya~ kertas sakti miliknya menyerang serigala-serigala itu. Sekejap mata sudah terkapar. Melihat hal itu para jiangshi juga balas menyerang, tapi aku sudah siap membantu Fay dari samping. Dan... BRAK, mereka jatuh ke tanah.

Seketika wujud mereka hilang, sirna akibat kekuatan spirit. Tapi seekor serigala muncul dari lorong kecil, sepertinya dia-lah sang alpha. Aku masih memasang posisi siaga, Fay di sampingku menatap tajam mendekati serigala itu.

"Auuu..." Serigala itu melolong. Sedetik kemudian tubuhnya berubah menjadi manusia serigala. Seperti makhluk hybrid yang kalian lihat di film-film.

Sekarang dia menatap kami dengan tatapan sinis. Auranya sangat kuat, aku bisa merasakannya.

"Akhirnya kita berjumpa, wahai anggota Lièrén." Siluman serigala itu tertawa lepas melihat kami berdua.

Aku hendak menyergah tawa makhluk hina ini, tapi Fay menahanku. Tangannya teracung ke atas. Sedangkan yang di depan sana menatap rendah, meremehkan lawannya.

"Kenapa diam? Apa kau tak–"

Belum genap ucapan makhluk serigala alpha itu, tiga kertas bercahaya merah terbang menewaskan si serigala. Tubuhnya sirna di bawah cahaya rembulan.

"Aku harus pergi sekarang." Fay kembali teleportasi sebelum aku sempat bertanya tentang apa yang sedang terjadi sebenarnya. Ini... Serangan kedua, apa yang sebenarnya diinginkan mereka?

***

Cahaya matahari menembus jendela, menyiram sekujur tubuhku. Jam dinding berdetak pelan, menunjukkan pukul tujuh pagi. Aku segera turun ke bawah, Ali sudah menunggu.

Tangga berderit pelan saat aku melangkah, di ruang tamu tubuh kekar Ali terlihat. Sepertinya tidak ada yang terjadi di kedai malam tadi, Ali bahkan tidak tahu bahwa roh jahat kembali menyerang.

"Lu udah siap? Ayo berangkat!" ketus Ali, sepertinya malam tadi ada masalah di kedai.

Dia melangkah keluar rumah, menyisakan aku yang masih setengah bingung. Dua menit kemudian aku juga keluar rumah, lalu menguncinya.
Ali sudah berada di persimpangan bersama seseorang yang juga menungguku.

"Dika! Ayo sini," seru Tina tersenyum ke arahku. Hari ini dia mengenakan bando dengan motif kupu-kupu.

"Sorry, gue telat." Aku terengah-engah sehabis berlari.

"Kamu gapapa, kan? Gamungkin lari dikit udah mau mati." Tina asal ngucap, melambaikan tangan.

Selama jalan ke sekolah hanya senyap, tidak ada yang mau mengobrol. Ali tampak ketua, entah masalah apa yang membebani pikirannya, Tina sibuk dengan bando baru yang ia beli.
Menyisakan keramaian jalan kota yang mulai padat, ini hari kerja.

Beberapa menit kemudian kami sampai di sekolah, siswa tampak lalu lalang di lorong kelas, satu dua sarapan di kantin. Satu, dua, tiga jam kemudian hujan turun tambah lebat.
Saat bel baru berbunyi, hujan turun membasahi lapangan.

Aku dan Tina memutuskan membaca di perpustakaan ~sebenarnya untuk mencari informasi tentang Teratai Suci. Ali mungkin sedang tidur mendengkur di kelas, semalam tadi dia sibuk bekerja.

Di atas meja bertumpuk buku yang sudah kami periksa, dan hasilnya nihil. Tidak ada satu pun yang membahas tanaman itu. Tina sudah menguap untuk ketiga kalinya, mengantuk.

"Tin, kamu tahu Lièrén ga? Pernah denger gitu?" tanyaku teringat hal itu.

"Hah?" Tina ber-hah, memastikan pertanyaanku.

"Kamu tahu Lièrén?" Aku bertanya sekali lagi. Tina menggeleng, dia juga tidak tahu.

Mendengar jawaban itu, aku hendak kembali fokus mencari, tidak banyak membantu memikirkan hal-hal aneh. Mungkin saja manusia serigala semalam hanya ngarang cerita.

"Kelompok pemburu, itulah Lièrén." buk Wati yang mendengar percakapan kami sejak tadi menjawab.

Aku dan Tina mendongak, bagaimana buk Wati tahu hal itu?








Misteri Haguang YangshiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang