BAB. 8

9 5 1
                                    

Suasana lengang.
Kami berdua saling tatap, tidak percaya dengan apa yang terjadi barusan. Buk Wati sudah mengerutkan kening, sekarang kami sama-sama tidak mengerti. Aku mengangguk kepala yang tidak gatal.

"Maksudnya gimana, Buk?" tanyaku heran. Tina di sebelah mengangguk.

"Eh? Maksud saya itu hanya dongeng, tidak ada nyata-nyatanya." Guru berusia empat puluh tahun ini melotot. "Lagian mana ada orang punya kemampuan seperti itu."

"Sudah! Kalian lanjut aja, ngapain sih mikirin hal gak penting." Buk Wati melangkah pergi.

Senyap, tidak ada murid yang berkunjung ke perpustakaan hari ini. Hanya kami berdua. Anggap saja kata guru kami ini benar, lagian mungkin saja manusia serigala itu hanya membual.

"Dik, sini bantu beresin."

***

Siang hari di ruangan kelas, kami sedang berkutat dengan soal latihan yang diberikan Mr. Willy ~bule yang menjadi guru bahasa Inggris di sekolah kami. Di atas meja terdapat berlembar-lembar kertas yang belum terisi.

Mr. Willy memang jarang memberi soal, tapi jangan tanya saat dia memberinya. Ini bahkan lebih banyak dibanding lembaran kisah 1001 malam. Tina yang duduk di meja sebelah belakang menulis santai, dia tahu jawabannya.

Ali juga tampak fokus ~walau tidak mengerti soal yang diberikan. Begitupun dengan teman-teman yang lain, mereka berusaha mencari kesempatan terbaik untuk mencontek. Ada yang berbisik-bisik, melalui kode, atau kertas yang diselipkan diam-diam. Itu hal lumrah, saat ada ujian, ulangan, hingga tugas biasa mencontek sudah mendarah daging.

Aku mendengus, soal-soal ini mulai menyebalkan. Soal demi soal semakin sulit, tidak terasa entah berapa yang sudah aku kerjakan. Saat aku akan menulis jawaban nomor 131 sesuatu muncul di kertas jawabanku.

Di atas kertas ujianku muncul tulisan, seperti seseorang sedang menulis, satu per satu huruf muncul diatasnya. Menutupi soal ujian. Isi suratnya berbunyi: Dika, temui aku di kuil beberapa hari yang lalu, ajak dua temanmu itu. Ini sangat genting. Aku lamat-lamat menatap surat barusan, ini teknik yang hebat.

"Hey you, ngapain bengong?"

"No, s-saya lagi mikir," jawabku asal.

Dua puluh menit. Aku hampir selesai mengerjakan tugas, ini soal terakhir. Tina sedang duduk diam, tugasnya sudah dikumpul. Sedangkan Ali, entah bagaimana dia akan menyelesaikan tugas ini. Aku khawatir melihatnya.

Ting...

"Okey student's, because my time is up, collect now!"

Lupakan tentang menyelesaikan, waktunya sudah habis. Aku sekali lagi melirik Ali, dia menghela napas berat.
Setiap murid sudah berjalan menuju meja guru, aku mulai berjalan disusul Ali yang terlihat gontai.

Lengkap sudah, Mr. Willy menggenggam kertas tugas kami semua. Lantas berjalan meninggalkan ruangan dengan langkah kaki terdengar hingga ujung lorong.

Ini waktunya pulang, kelas mulai kosong ditinggali siswa, menyisakan kami bertiga. Ali tampak lesu, mulai melangkah keluar, aku menarik tangannya. Bagaimana mungkin hanya karena tugas dia menjadi hilang semangat? Lagipula selama ini dia tidak peduli.

"Lu ikut gue, ini penting." Aku menatap wajah lesunya.

Tina sejak tadi memperhatikan, dia juga ingin tahu. Suara ramai dari lorong dan halaman sekolah, semua siswa berjalan meninggalkan sekolah.
Tidak dengan kelas ini yang lengang.

"Oke kalau lu gamau ikut," ketusku, "gue juga ga maksa."

Aku mulai melangkah menuju pintu kelas, Tina berjalan mengekor di belakang. Meninggalkan Ali sendirian.
Tiga menit kemudian, kami sudah berada di gerbang sekolah. Tadi dengan singkat aku menjelaskan situasi ini pada Tina, lantas menelpon staf ayahnya untuk mengantar kami ke kuil di kampung Pengrajin Tahu.

TIT-TIT. Sebuah mobil mengarah kesini, itu jelas tumpangan kami.

"Yuk naik!" Tina membuka pintu mobil, disusul aku.

"Semua sudah siap, Nona?" Sopir ~alias staf ayah Tina~ memastikan.

Aku mengangguk, Tina juga. Saat mobil hendak memacu di jalan,  seseorang memanggil samar-samar wajahnya terlihat. Itu Ali.

Aku menyeringai tipis, aku sedikit terkejut dia mau ikut. Sejak tadi wajahnya kusam seperti jiangshi-jiangshi itu. Ali masuk ke dalam mobil lalu berjalan menuju tujuan.

***

Empat puluh menit kemudian kami sampai di perkampungan itu. Agak lama karena Ali minta singgah ke kedai Koh Along, ada perlu katanya. Mobil diparkirkan di lapangan kampung, kami bertiga melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki.

Lima menit berjalan kami sampai di kuil itu. Fay sudah menunggu sejak tadi, bersedekap di depan kuil. Kali ini Fay tidak menyuruh kami masuk, melainkan berjalan menuju belakang kuil yang langsung menghadap kanopi pepohonan.

Lengang menyisakan suara burung yang bertengger. Fay memulai percakapan. "Yang ingin kusampaikan ten–"

"Fay, boleh aku bertanya?"

Kembali lengang, Fay bersitatap dengan Tina ~dia yang memotong percakapan~ yang balas menatap. Ali lebih tertarik melihat hutan rindang daripada mendengar Fay. Sudah menjauh lima langkah.

"Silahkan, kau duluan Tina." Fay berseru.

"Eh? Aku sebenarnya tidak tahu harus mulai darimana, tapi baiklah..." Tina mengatur kalimatnya.

"Sebenarnya apa itu Lièrén, apa itu nyata? Bukan seperti dongeng lama, 'kan?"

Aku mengangguk sejak diperjalanan aku memang memikirkan hal itu. Tina selangkah di depanku, tapi tidak apa-apa. Aku juga tidak pandai bersilat lidah seperti Tina yang menguasai public speaking dari ibunya ~yang merupakan anggota dewan kota.

"Kalian ingin tahu?" Fay menjawab singkat, Ia pasti sudah tahu aku bercerita hal itu kepada Tina.

"Kisah Lièrén bermula sepuluh tahun lalu di sebuah desa Lie sebelah utara dari kota ini. Saat itu, desa sering diserang para bandit juga makhluk jahat. Warga teraniaya, terancam setiap malam datang, hingga seorang guru yang datang dari jauh, singgah di desa mengajar lima anak muda desa berpotensi. Mereka diajar menjadi bagian dari Aliansi Cahaya, hingga perang besar meletus di Jiulong Ruins sebagian besar anggota aliansi itu tewas."

Aku tertegun mendengarnya, tidak pernah ada dalam sejarah mencatat hal itu. Lima menit hening, menyisakan kesiur angin.

"Setelah itu Aliansi Cahaya bubar, terpecah menjadi serpihan kecil, salah satunya Lièrén." Fay mengakhiri cerita.

Fay kembali memperbaiki posisi, sebuah peta muncul dari balik pakaiannya. Aku dan Tina mendongak ingin melihatnya.

"Ini peta lama, aku mengambil saat berada di kuil desa Lie, tiga tahun lalu." Fay menjelaskan.

"Setelah beberapa hari terakhir aku menemukan titik yang akan kita jumpai, danau Peri Kembar." Fay menunjuk sebuah titik di peta, itulah tujuan kami.

"Okey..." gumam Tina.

"Kita akan pergi kesana pada akhir pekan, kalian libur bukan?"

Aku mengangguk mantap, walau kami belum tahu apa tujuan dari perjalanan ini. Tapi ini pasti akan seru. Bertualang bersama seorang anggota Lièrén ~yang massa saja tidak tahu menahu soal itu.

"Tapi perjalanan ini tidak akan lama, 'kan?" tanya Tina khawatir.

"Gak usah takut, Tin. Kalau soal waktu mungkin cukup dua hari." balasku.

Matahari mulai turun ke ufuk barat, cahaya oranye tampak, waktu semakin berjalan. Rapat kami sudah selesai, Fay menuntun kami kembali.
Tapi, aku baru ingat sesuatu!

"Fay, apa tujuan kita kesana?"

Fay tersenyum simpul, "untuk mempersiapkanmu."













Misteri Haguang YangshiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang