Prolog

372 50 24
                                    

"Saya tidak pernah menyangka kalau akan menjadi seperti ini akhirnya."

Satu kalimat yang Hasan sampaikan dengan suara yang bahkan hampir tidak bisa keluar dari kerongkongan. Matanya berkaca-kaca dengan pandangannya yang tertunduk menyembunyikan rasa bersalah yang begitu mendalam; menyaksikan diri yang telah terlampau jauh.

"Dan itu semua saya lakukan semata-mata hanya demi kebaikan adik saya, Bah," lanjut pria itu lagi.

Dan keheningan menyapa di ruang tamu ndalem Abah Zufri. Rumah seorang kyai, pengasuh Pondok Pesantren Al-Karimah yang dulunya menjadi tempat adik kembar Hasan menimba ilmu agama dan belajar menjadi manusia seutuhnya, Rumi Al-Husein.

Dua pasang mata tajam Ardha dan Ramzi melirik; mengawasi Hasan yang duduk diapit oleh mereka di atas sofa panjang warna marun saat pria itu mulai jatuhkan butiran tetes air matanya begitu saja.

"Astagfirullahaladziim," ucap Abah Zufri yang duduk di hadapan para lelaki itu dengan helaan nafas kasar. Juga gelengan kepala di akhir karena heran.

Kabar berita tentang apa yang terjadi pada Rumi telah terdengar di telinga keluarga pesantren Al-Karimah. Termasuk Abah Zufri beserta istrinya, Umi Fatimah. Juga putri satu-satunya, yaitu: Ning Azizah.

Hasan berdiri. Dan ia pun langsung mengambil posisi sujud lantai, depan deretan jemari kaki Abah Zufri sembari memohon. Hingga kejadian itu membuat lelaki tua berusia 62 tahun itu terkejut, tak disangka sebelumnya.

"Bah, lindungi saya, Bah, selamatkan saya," Hasan memohon.

"Eh! Bangun. Jangan seperti ini," tolak Abah sembari berusaha mengangkat pundak lelaki malang itu. "Saya bukan tempat manusia memohon. Kalau butuh perlindungan dan keselamatan, minta ke Allah, bukan ke saya. Bangun!"

Hasan menggeleng sembari masih terdengar isak tangisnya.

"Bangun, Nak," suruh Abah lagi.

Lantas Ardha dan Ramzi pun segera bangkit dan ikut membangunkan Hasan. Namun tetap sulit di sadarkan.

Lalu muncul seorang gadis dari arah pintu depan. Matanya besar dengan sisa kesedihan di dalamnya kala itu. Bibirnya merah dan kulitnya warna sawo matang. Manis. Mengalahkan rasa manis dari gula Jawa bila ia mampu tersenyum.

Langkah gadis itu pun terhenti kala dirinya hendak masuk ke dalam rumah dan melihat punggung Hasan yang mirip dengan punggung dari salah seorang yang ia kenal. Gadis itu masih setia berdiri, mematung sambil menatap lekat objek dari ambang pintu dengan bibirnya yang gemetar.

 Gadis itu masih setia berdiri, mematung sambil menatap lekat objek dari ambang pintu dengan bibirnya yang gemetar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ru-Rumi Al-Husein...?"

Hasan, Ardha dan Ramzi. Termasuk Abah Zufri pun segera menoleh; menatap ke arah sumber suara yang terbata-bata itu. Dan didapati bahwa ternyata itu adalah suara dari Ning Azizah, putri dari Abah.

"Nduk?" gumam Abah dengan tatapan cemas.

Ning Azizah membelalakkan matanya; terkejut menatap wajah Hasan yang mirip dengan wajah seseorang yang baru saja ia sebut namanya, Rumi Al-Husein. Lelaki yang pernah menjadi mantan pacarnya. Juga lelaki yang telah lama tak muncul di hadapan matanya. Memanglah kembar. Namun belum diketahui olehnya bahwa Rumi memiliki seorang kakak bernama Hasan yang begitu mirip dengannya.

Pandangan Ning Azizah pun seketika menjadi berkunang-kunang. Sempat gadis pijit kedua pelipisnya yang tiba-tiba terasa begitu sakit. Namun, apalah daya tubuhnya yang lemah itu? Ia pun jatuh ke pelukan lelaki yang bukan mahram-nya, Ramzi. Pria itu dengan sigap menangkap gadis yang tiba-tiba pingsan itu.

Sudah, ini prolognya.
Suka? Vote dan komennya, dong!

Muara 1 HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang