4 | Sendika Dawuh

73 13 13
                                    

Pagi yang cerah di hari Kamis, usai kisah cinta Fahrul terlepas dari mulutnya dan berlari masuk ke dalam alam pikiran Hasan semalam.

"Mau kemana sekarang?" tanya Fahrul kepada Hasan.

Kedua pria itu tengah berdiri santai di tepi lapangan pesantren; menyaksikan para santri yang tengah sibuk oleh kegiatannya masing-masing. Ada yang sedang menyapu halaman pemondokan, ada yang duduk-duduk di anak tangga masjid, ada yang mengaji sebagai persiapannya sebelum muroja'ah (setoran hafalan) dan ada pula yang tengah mengantri kamar mandi.

"Ke sawah," jawab Hasan singkat kepada pertanyaan Fahrul.

"PAS!" seru Fahrul penuh semangat, seraya menjentikkan jari jempol dan jari tengahnya. "Pagi-pagi gini emang paling mantep ngopi di pinggir sawah."

"Sebentar, aku rebusin air dulu, ya." Fahrul membalikkan badannya, sembari langsung melangkahkan kaki menuju dapur.

"Awakmu gak duwe kegiatan lain sak liyane ngintil aku?" celetuk Hasan. (Kamu gak punya kegiatan lain selain ngikutin aku?)

Fahrul menghentikan langkahnya. Lalu menoleh ke arah sumber suara dan hanya diam menatap raut wajah Hasan yang seakan bosan kepada dirinya.

Hasan pun lanjut berkata, "Gak perlu ikut. Buat aja kopimu sendiri."

Fahrul berdecak kesal. Dan langsung saja Hasan pergi dari tempat itu tanpa peduli. Ia berjalan menuju kandang kambing; melewati teras rumah Abah. Dan dijumpainya ning Azizah yang baru keluar dari ndalem dengan segelas teh hangat di tangannya.

Langkah Ning Azizah terhenti—sedikit terkejut. Namun, tak lagi seperti saat pertama kali ia melihat Hasan waktu itu. Mata gadis itu terarah mengikuti arah jalannya Hasan yang cuek. Pria itu hanya melirik Ning-nya dengan sorot mata tajam, sembari tetap melanjutkan jalannya, lagi-lagi tanpa peduli. Kenapa lelaki itu?

Dan dari jauh, Fahrul menyaksikan kejadian tersebut dengan mata kepalanya, seakan mengucap syukur atas kesembuhan ning Azizah dari sakit demam.

"Ning Azizah?" gumam Fahrul menatap lekat gadis itu dari kejauhan.

Hingga datang lelaki tua yang tiba-tiba berdiri dengan gagah—penuh wibawa— memanggil nama Fahrul yang tentu membuatnya terkejut. Lelaki tua itu adalah kiyai-nya, Abah Zufri.

"Le, Rul," panggilnya. (Nak, Rul)

"Eh, Abah." Fahrul menjabat dan mencium punggung hingga telapak tangan kiyai-nya tersebut.

"Bagaimana kabarmu, Le? Sehat?"

"Alhamdulillah, sehat, Bah."

Abah tersenyum senang. Kemudian menoleh; menatap punggung Hasan. Dan diikut Fahrul yang kemudian juga menatapnya.

"Mau kemana si Hasan?"

Fahrul menjawab, "Dateng sabin, tiros'e, Bah." (Ke sawah, katanya, Bah)

Abah mengangguk-anggukkan kepala. "Kamu gak ada jadwal pagi ini?"

"Mboten, Bah. Ngaji pagi udah diisi ustadz-ustadz yang lain. Lagipula, kan, setiap jam 9 sampai dzuhur, para santri juga waktunya sekolah akademik, Bah," tutur Fahrul lembut.

Abah mengangguk lagi. "Kalau gitu, habis ini temani Hasan di sawah, ya?Jangan sampai dia merasa sendiri."

"Enggih, Bah." Fahrul mengangguk cepat.

"Walau kelihatan judes, sebenarnya dia adalah anak yang sholeh. Dan, inshaAllah, suatu saat nanti dia akan menjadi orang alim," ucap Abah.

Tentu ucapan Abah barusan membuat bingung si Fahrul. Pria itu menggaruk-garuk kepala bagian belakang dan lanjut bertanya dengan penuh rasa sungkan, "M-maksudnya, Bah? Dia akan jadi orang alim?"

Muara 1 HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang