Hari Minggu pagi, merupakan jadwal pesantren melaksanakan kegiatan rutin kerja bakti. Atau di kalangan para santri menyebutnya ro'an.
Kala itu Fahrul tengah asik mengelap kaca jendela depan ndalem Abah dengan selembar lap handuk kecil warna putih di tangan kanan, lalu botol semprotan plastik berisi cairan pembersih kaca di tangan kiri. Di sebelahnya ada seorang santriwati yang juga tengah sibuk mengepel lantai keramik halaman rumah, tempat pengabdiannya tersebut.
"Sut!" panggil Hasan.
Fahrul menoleh padanya, dan langsung menghampiri pria yang berdiri di depan ndalem dengan kedua tangannya yang dimasukkan ke dalam saku celana kain hitam.
Hasan mengajak Fahrul menuju area tepi lapangan, dimana saat itu lapangannya pun juga ikut dibersihkan oleh para santri. Dan mereka pandangi para santri yang tengah kerja bakti itu.
"Ada apa, San?" tanya Fahrul.
Hasan menghela nafasnya kasar. Ia tundukkan pandangan sejenak dan lekas mulai mengucapkan sepenggal kalimat kepada lelaki yang ada di sebelahnya tersebut.
"Malam ini aku boleh tidur di kamarmu? Di kandang terlalu banyak nyamuk."
Fahrul terkekeh. "Boleh, tapi satu ruangan yang makai ya ada 7 sampai 8 orang. Dan kalau udah larut malem, mereka mulai paduan suaranya."
Hasan menoleh sembari mengernyit menatap lelaki itu.
"Adu ngorok, San. Ha-ha-ha!" lanjut Fahrul.
"Oke, suwun," ucap Hasan singkat.
"Udah, mau ngomong itu aja?" tanya Fahrul yang dijawab oleh Hasan hanya dengan tatapan khasnya. "Okey, sama-sama."
Kemudian, mereka kembali menatap luasnya tanah lapang, melihat Zacky tengah bermain dengan gembiranya; duduk di atas sebuah sorong merah mengangkut sampah, lalu di dorongkan oleh temannya-Alif-menuju tempat pembuangan akhir untuk membuang sampah-sampah itu untuk di hanguskan dari bumi.
"Rul," panggil Hasan. Dan Fahrul menoleh padanya. "Apa kamu gak terlalu berlebihan ke mereka?"
"Maksudnya?"
"Menurutku awakmu terlalu penakan (gampangan) ke mereka, sampai mereka pun juga seenaknya ke kamu."
Fahrul melamun, sebagai bentuk renungannya sejenak. "Aku juga bingung, San. Santri jaman sekarang kalau dikerasin juga gak kuat, kalau dienakin juga seenaknya sendiri. Sebagai pengurus, aku memilih solusi paling gampangnya aja. Mereka aku bebaskan, asal masih mau ikut mengaji. Udah itu aja."
"Mereka masih belum cukup umur, tapi aku lihat di rooftop kemarin mereka santai-santai aja merokok di depanmu? Bukankah itu sangat gak pantas? Bahkan, mereka berani mengataiku padahal mereka juga baru mengenalku di waktu itu."
Fahrul tersenyum dan menoleh, menatap Hasan dengan tenang. "Iya, San."
Kemudian, tak berselang lama, terdengar suara roda kendaraan gemeratak menggiling tanah. Kedua pria itu menoleh ke belakang dan melihat sebuah mobil warna putih dari gerbang, lalu berhenti di pelataran ndalem.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muara 1 Hati
Teen FictionMuara 1 Hati, adalah novel kedua Imanez Juliq sebagai spin-off dari novel pertamanya yang berjudul Kota 7 Negara. Ditulis sebagaimana karena permintaan para pembaca yang penasaran dengan peran karakter Mas Hasan sebagai kakak dari Rumi/Husein. HAPPY...