Di bawah terik matahari, koloni burung walet melayang bebas, menari di angkasa dengan kegembiraan. Di kejauhan, hamparan sawah padi membentang luas, sejauh mata memandang, menambah keindahan alam yang tenang dan mempesona.
Seorang lelaki muda berusia 24 tahun tengah menjalani aktivitas rutinnya di setiap sore hari. Ngarit (mencari rumput) sebagai pakan hewan ternak milik yayasan pesantrennya. Lelaki itu bernama Hasan, atau mempunyai nama lengkap Hasan Adhi Al-Madiyyuni.
Lantas ia masukkan segenggam rumput gajah ke dalam karung putih besar, lalu menekannya; memadatkan isi saat dirasa karung itu telah penuh. Kemudian ia lirik sebuah jam tangan yang berada di pergelangan tangan kanan. Dan jam telah menunjukkan pukul 15.45 sore. Segeralah Hasan mengangkat karung berisi rumput itu pada bahunya dan lekas berjalan menuju tempat pemondokannya. Dan sesekali, Hasan sapa orang-orang yang ia jumpai di sepanjang jalan setapak.
Sampai di kandang. Hasan letakkan karung itu dan sesaat ia ambil beberapa sisa rumput yang sudah kering dari tempat pakan kambing sebelum kemudian ia berikan rumput-rumput hasil ngarit-nya sore itu ke wadah pakan yang terletak di luaran kandang bagian tepi. Dan ia ratakan.
Kambing-kambing itu pun mengeluarkan kepalanya satu-persatu dari kandang. Dan dengan nafsu makan yang tinggi karena lapar, lekaslah hayawan itu makan.
Hasan menghela nafasnya kasar sesaat, sembari tangannya mengelus lembut salah satu kepala dari kambing itu.
Allahu akbar... Allahu akbar...
Panggilan sholat menyadarkan, kala gema adzan terdengar jelas masuk ke lorong telinga. Tiba-tiba datang seorang pemuda. Mengenakan baju koko rapi dengan sarungnya; hendak melaksanakan sholat berjamaah di masjid pesantren.
"Kang, ba'da sholat asar diaturi abah yai, ken masang lampu ngajeng soal'e sampun mati," ucap pemuda itu tanpa salam terlebih dahulu. (Kang, setelah sholat asar disuruh abah yai, suruh masang lampu depan soalnya udah mati.)
"Lampu ngajeng?" tanya Hasan tanpa ekspresi, namun dengan mata yang fokus menatap pria yang ada di depannya. (Lampu depan?)
"Enggih, lampu gerbang," jelas pemuda itu yang tak lama hanya dibalas Hasan dengan anggukkan sekali, sebagai tanda mengiyakan.
Pemuda itu selalu menunduk dengan kegelisahan, hanya sesekali ia menatap wajah Hasan. Sejujurnya, ia tampak begitu takut dengan wajah lawan bicaranya yang begitu kaku, jarang menerbitkan senyuman ataupun menyampaikan banyak kalimat. Irit bicara. Dan hanya tergores sebuah garis datar pada bibirnya.
"Nggih, pun. Saya ke masjid dulu, Kang," pamit pemuda itu, sebelum kemudian ia meninggalkan Hasan sendirian di kandang bersama kambing-kambing di sana. (Ya, sudah)
Segeralah Hasan berjalan menuju kamar mandi bersama handuk yang tersampir di pundak, setelah ia tarik dari jemuran sebelah kandang. Kamar mandi kecil yang sederhana. Hanya ada gayung merah, mengapung tenang di atas air yang di tampung dalam bak hitam besar. Dan pria itu pun lekas mandi secepat kilat, mengejar waktu manjing sholat asar berjamaah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muara 1 Hati
Teen FictionMuara 1 Hati, adalah novel kedua Imanez Juliq sebagai spin-off dari novel pertamanya yang berjudul Kota 7 Negara. Ditulis sebagaimana karena permintaan para pembaca yang penasaran dengan peran karakter Mas Hasan sebagai kakak dari Rumi/Husein. HAPPY...