3 | Senandung Rindu

111 16 57
                                    

Brak!

"Astagfirullah!"

Ardha menggebrak meja kecil berbentuk bundar yang ada di rumahnya—joglo tua peninggalan kakeknya. Hingga suara gebrakan itu pun mengejutkan hati istrinya, Anggun. Dan wanita itu pun mengelus dada yang tutup rapi oleh hijabnya.

Di depan mereka ada Ramzi, ia tak terkejut barang sedikit pun.

Kala malam sebelum adzan isya' dikumandangkan, tegas Ardha seakan berhasil masuk ke lorong telinga kanan Ramzi, namun hanya lewat saja; keluar melalui telinga kiri.

"Nah! Itu dia, Ramz. Dengan menikahi ning Azizah, kamu bakal jadi Gus. Udahlah, gak perlu pikir panjang sing penting tatag!" (Yang penting berani)

"Pertanyaannya satu, Ar." Ramzi yang tertunduk kemudian menatap wajah pria yang ada di hadapannya. "Apa aku pantas disandingkan dengan seorang dewi seperti ning Azizah?"

"Awakmu lali, ta, karo pesen'e Rumi?" tanya Ardha sembari mengerutkan dahinya. (Kamu lupa, ya, dengan pesan Rumi?)

Ramzi menghela napasnya kasar. "Kalau boleh jujur, sebenarnya aku udah suka ning Azizah itu dari lama, Ar. Semenjak dia masih sama Rumi, tapi sebagai teman satu kamarnya aku ngalahi, aku gak ingin rebut ning Azizah dari sahabatku sendiri."

"Harusnya kamu juga paham, Ramz, dengan Rumi yang berpesan ke kamu waktu itu, pasti dia udah tau kalau sebenarnya kamu juga menyimpan rasa ke ning Azizah. Lagian, Rumi juga udah punya Aisyah. Dan sekarang adalah waktumu, Ramz."

Semakin dalam Ramzi tertunduk, usai ia dengar ucapan yang keluar dari mulut sahabatnya. Seakan kini kepalanya terasa begitu berat oleh keraguan yang datang tanpa aba-aba. Kenapa harus aku, Rum?

Hening sebentar, sebelum kemudian Anggun bangkit dari tempat duduknya dan berpamit kepada sang suami untuk membuatkan mereka segelas kopi. "Em, aku buatkan kopi dulu, ya, Mas."

"Enggih, Dek," jawab Ardha kemudian.

Dan Anggun pun pergi menuju dapur, meninggalkan kedua pria itu.

"Mikir apa maneh, Ramz?" tanya Ardha lagi, saat ia kembali menatap raut wajah Ramzi yang tak tenang. (Mikirin apa lagi, Ramz?)

"Cinta itu suci. Sebagaimana cintaku ke ning Azizah." Ramzi menoleh, lalu menatap lekat wajah Ardha. "Tapi kalau sampai aku berhasil memiliki ning Azizah, nanti cintaku gak suci lagi, Ar. Maka dari itu, biarlah cintaku ini tetep suci dengan tidak adanya kata memiliki."

"Tergantung dari sudut pandang mana yang kamu lihat, Ramzi. Kalau niatmu untuk menikah, inshaAllah, cinta itu tetap suci, bahkan ternilai ibadah walau ada unsur nafsu di dalamnya. Tapi kalau hanya sebatas pacaran belaka, tentu itu akan buat cinta kamu gak suci lagi," ucap Anggun yang berjalan menghampiri Ramzi dan Ardha.

Wanita itu datang membawa sebuah nampan dengan dua cangkir kopi hitam di atasnya. Kemudian, ia suguhkan kopi itu dan kembali duduk di kursi yang terletak di sebelah suaminya. "Begitu, kan, Mas?"

Brak!

"Astagfirullahal'adzim, Mas!"

"Nah! Bener itu, Ramz!" Ardha memperkuat. "Kalau hidupmu kepingin mulya, menikahlah, Ramz. Karena dari segala aspek kamu sudah cukup mampu. Gimana?"

Ramzi diam tak menjawab. Hingga terjadilah momen dimana Ardha dan istrinya saling lirik—kode mata.

"Baiklah. Nanti tentukan harinya kapan buat kamu datang ke pesantren sama keluargamu. Dan aku sama Anggun siap nemenin, sekalian jenguk si Hasan."

"Ar!" tegur Ramzi dengan bisik. Tampak ia tak setuju oleh apa yang dikatakan Ardha, karena memang ia pun belum menjawab pertanyaan di sebelumnya. Aku belum mengiyakan!

Muara 1 HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang