05. Membantah Kenyataan

502 47 33
                                    

Alana Senia — SMA Dirgantara

Tatapanku kosong sejak beberapa menit lalu. Aku duduk memojok di tepi loker, enggan bergabung dengan cowok-cowok yang sedang berdiskusi di tengah kelas. Sibuk mencari jalan keluar dari neraka zombie ini. Berkali-kali aku menyeka pipi. Klara di sebelah mengusap surai biruku.

Hingga detik ini. Aku masih kesulitan mencerna kenyataan. Zombie-zombie itu sungguhan ada. Dan Kai, sahabat baikku, pemuda yang beberapa waktu lalu menghabisi zombie dengan tongkat golfnya demi menyelamatkanku....

Air mata kembali mengucur deras. Pipiku lagi-lagi basah. Dan Klara langsung mendekap tubuhku. Berbisik tentang harapan-harapan positif, kami akan baik-baik saja.

"Kita nggak bisa pergi, Ra.... Nggak ada yang nolongin kita....," lirihku dengan tangis pilu.

"Pak Yoo masih hidup, kok. Beliau pasti bakal nolongin kita." Medi di tengah kelas tiba-tiba berceletuk. Menoleh ke arahku dan Klara.

"Gua barusan telepon Pak Yoo. Beliau terjebak di lab kimia. Sekarang gua mau telepon Papa, semoga aja Papa bisa kirim bantuan. Eh, kalian yang hapenya masih ada coba telepon orangtua masing-masing." Medi mengusulkan.

"Emang ada yang hapenya hilang?" tanya Klara. Merogoh ponsel di saku kemejanya.

Medi menunjuk cowok yang duduk di bawah papan tulis.

"Tuh, Langit. Hapenya jatoh pas manjat pohon. Dongo emang!"

Langit menggaruk tengkuk lehernya. "Mau gimana lagi, Med... nasi udah jadi bubur."

"Bukan bubur lagi. Udah jadi tai!" Jeje menyahut.

Aku meraba-raba saku kemeja. Merogoh lembaran uang dari dalam sana. Heh, kenapa ponselku tidak ada?

Berpindah meraba saku celana. Tetap nihil.

"HAPEKU HILANG!" Semua tatapan mata tertuju padaku.

Medi tepuk jidat. "Aduh, sama aja lu, Na...."

"Tadi sebenarnya gua lihat hape lu jatuh pas lu dicekik Kai. Tapi nggak gua ambil soalnya Kai buas banget cok. Yang ada gua digigit dia!" Niko memberi pengakuan.

Mendengar itu, aku mengusap wajah frustasi. Punggungku kembali bersandar di loker. Pikiranku kalang kabut.

Tapi pada akhirnya, aku justru mengikhlaskan ponsel itu. Percuma juga menghubungi orang tua. Peduli apa mereka denganku? Yang dipikirkan Ayah hanya nilai, nilai, dan nilai. Ibu lebih memprioritaskan adikku. Tidak ada yang betul-betul peduli denganku.

"Halo? AYAH!" Karis berseru. Mendekatkan ponsel ke telinganya.

Kami semua menoleh serempak ke arah pemuda dengan surai kuning-merah muda itu.

Karis membekap mulut. Kedua bola matanya membesar. Apa yang dibicarakan ayah Karis sampai membuatnya terkejut seperti itu? Firasatku tidak enak.

"Wabah mematikan? Seluruh kota?" Suara Karis memelan.

Meski Karis tidak mengaktifkan loud speaker, dan kami tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi cukup dengan empat kata itu, kami segera tahu apa yang sedang terjadi.

Wabah zombie telah menyerang seluruh kota Bakwan. Sekolah kami bukan satu-satunya.

Karis kembali terdiam. Membiarkan ayahnya bicara di seberang telepon.

"Siap, Ayah. Karis akan berusaha bertahan. Ayah jangan khawatir. Karis juga akan berusaha melindungi teman-teman Karis."

Lengang lagi. Ayah Karis kembali bicara. Reaksi pemuda itu selanjutnya hanya menghela napas.

Leave or Die || Bakwan Fight BackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang