2

3 2 0
                                    

Sejak saat itu, Binar tidak henti-hentinya berbicara tentang Aidan.

Ia bahkan mengatakan secara terang-terangan kepada Rani dan Anggun bahwa ia menyukainya.

Sadar bahwa Binar ini kurang up to date, Rani dan Anggun lalu menceritakan banyak hal tentang cowok itu.

Tentang dia yang memiliki kecerdasan jauh di atas rata-rata, tentang dia yang sehari-hari sibuk mempersiapkan olimpiade matematika, tentang dia yang kurang berbaur dengan anak kelas lain, juga tentang circle nya yang berisi anak-anak olim yang rata-rata sama cerdasnya, dan tentang dia lainnya yang semakin didengar semakin membuat Binar jadi insecure.

"Dia terlalu jauh di jangkau, ya?" kata Binar suatu hari.

"Apa gue bilang, 'kan. Dia tuh beda kelas sama kita." Kata Anggun sambil mengunyah bakso penuh-penuh di mulutnya. Memang namanya saja Anggun, tapi tidak dengan perilakunya yang cenderung seperti anak laki-laki.

"Bahkan banyak yang bilang Aidan itu dekat sama Rania, anak olim biologi itu." Kata Rani. Dibandingkan dengan Binar dan Anggun, Rani yang paling mungkin bisa berteman dengan anak-anak cerdas itu. Walaupun ada di kelas XI-7, Rani berturut-turut ranking satu sejak awal masuk sekolah.

"Serius? Wah, kalau emang benar mereka emang cocok, banget, sih." Kata Anggun dengan tidak peka nya di depan Binar.

Mendengar itu, wajah Binar yang biasanya cerah jadi mendadak suram.

Ia merengut menatap ke lapangan sekolah, di mana di sana anak-anak XI-I sedang kegiatan olahraga basket.

Aidan ada di sana bersama teman-temannya, dan ikut serta bermain. Walaupun ia tidak mengikuti eksktrakurikuler olahraga, Aidan cukup sehat dan bugar dalam beraktifitas fisik.

Seperti biasa, Aidan nampak ganteng, menawan, dan terasa teduh di hati Binar. Apalagi dengan keringat tubuhnya yang dibalut kaos seragam sekolah, menambah kesan maskulin tersendiri.

Sudah satu tahun sejak insiden tenggelam itu berlalu, tapi Binar belum menemukan cara untuk mendekati Aidan.

Tidak ada teman yang bisa mengenalkan dirinya pada Aidan, toh memang mereka tidak punya relasi sama sekali.

Pun Binar tidak ada keberanian untuk secara random dan tiba-tiba menyatakan perasaan begitu saja di depan Aidan seperti orang bodoh.

Tapi, sehari-hari tak sekalipun Binar berhenti memikirkan bagaimana caranya ia bisa berkenalan dengannya.

Mengikuti sosial medianya? Sudah.

Lagian Aidan bukan tipikal cowok yang aktif bersosial-media. Dia jarang aktif di Instagram. Foto-fotonya pun hanya seputar kegiatan sekolah yang mengharuskannya memposting foto.

Binar juga rutin melihat akun kelas dan akun OSN kalau-kalau ada kabar tentang Aidan yang terpublikasi. Melihat laki-laki itu sukses memang cukup membuat Binar bahagia.

Tapi, Binar tidak bisa bohong kalau ia menginginkan lebih. Ia ingin berteman dengan Aidan, ia ingin mengenal lelaki itu dari dekat.

Bahwa menyukainya selama ini membuat Binar semakin penasaran pada sosoknya yang misterius dan tertutup.

Di saat-saat seperti ini, di saat Binar sedang kehabisan cara untuk bisa mengenal Aidan lebih jauh, Binar hanya akan duduk di samping jendela kelas. Membuka buku sketsanya dan mulai melukis Aidan dari kejauhan.

Keterampilan menggambarnya mungkin satu-satunya hal yang dimiliki oleh gadis ini. Walaupun ia tidak pandai belajar, Binar cukup terampil dalam melukis.

Sudah tidak terhitung berapa lukisan yang ia buat, semua sosok Aidan dalam buku sketsanya itu terlihat begitu mengesankan.

First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang