BAB 5: Di Bawah Hujan, Dalam Pelukan Cinta.

10 3 21
                                    

Pagi itu, matahari seakan malu-malu menembus tirai jendela, memandikan ruangan dengan cahaya lembutnya. Di sisi lain kota, Tama membuka matanya perlahan, menghirup udara pagi yang segar namun terasa hampa. Rumahnya sendiri, yang biasanya membawa rasa nyaman, kini terasa terlalu luas, terlalu sepi, setelah beberapa hari dihabiskan bersama Raka di kamar kos yang kecil namun hangat.

Ia duduk di tepi tempat tidurnya, menatap bayangan dirinya di cermin. Hatinya bergetar, antara rasa lega karena kembali ke rumah, dan rasa kosong yang tiba-tiba menguap dari dalam. Setiap sudut ruangan terasa bisu, seolah-olah rindu Raka bersemayam di sana, menunggu untuk disentuh kembali.

Dalam diam, Tama tersenyum tipis. Ia mengingat bagaimana Raka selalu menghela napas dalam-dalam sebelum berbicara, seakan mencoba menahan kata-kata yang akan membuatnya tampak rapuh. Bagaimana cara Raka menyentuh luka-lukanya sendiri dengan tangan gemetar, namun tetap mencoba menenangkan Tama. Ada sesuatu yang sederhana namun penuh makna dalam setiap interaksi mereka, sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Di tengah keheningan, ponselnya bergetar pelan di meja. Sebuah pesan dari Raka masuk, singkat namun penuh rasa. "Pagi, semoga harimu seindah senyummu." Kalimat sederhana itu membuat Tama tersenyum lebih lebar.

Ia menghela napas, merasakan rindu yang mendalam mengalir dalam dadanya. Ada keinginan untuk segera kembali ke sisi Raka, membiarkan kehangatan itu kembali merangkulnya. Tapi, di balik semua itu, Tama juga tahu bahwa perasaan manis ini adalah sesuatu yang harus mereka pelihara dengan hati-hati. Seperti bunga yang sedang mekar, butuh sinar, butuh air, tapi juga butuh waktu untuk tumbuh.

Pagi itu, dalam kebisuan rumahnya, Tama menyadari satu hal: meski mereka terpisah oleh jarak, ada benang halus yang tetap menghubungkan hati mereka. Dan di benang itulah, rindu mereka bertaut, memelihara cinta yang tumbuh perlahan, tapi pasti.

Lalu, pesan kedua masuk, menyelipkan harapan yang lebih dalam.

"Berangkat bareng ke kampus hari ini? Naik bus, bareng aku."

Mata Tama berbinar, seiring senyum yang makin melebar. Ajakan yang begitu sederhana, tapi menghadirkan ribuan imaji yang berputar di benaknya. Ia membayangkan dirinya berdiri di halte, merasakan hembusan angin pagi yang dingin, sementara Raka ada di sisinya, hadir dalam keheningan yang tak butuh kata-kata.

Bus umum—sesuatu yang selama ini terasa jauh dari kesehariannya. Biasanya, ia berlindung di balik kemewahan mobil pribadi, terpisah dari riuhnya kehidupan kota. Namun kini, ajakan Raka membuka pintu bagi sebuah pengalaman baru, pengalaman yang lebih intim dan dekat dengan realita yang tak pernah benar-benar disentuhnya.

"Tentu, aku mau." Tama membalas pesan itu dengan cepat, senyum tak henti terukir di wajahnya. Ada kegembiraan kecil yang menari di hatinya, antusiasme untuk memulai hari dengan cara yang tak terduga namun begitu bermakna.

Sejenak kemudian, ponsel kembali bergetar. Balasan Raka, kali ini yang tak kalah antusias. "Oke, aku jemput kamu di halte dekat rumahmu. Sampai nanti, ya."

Senyum Tama semakin dalam, membayangkan pertemuan itu—perjalanan sederhana namun penuh rasa. Di luar, hujan malam sudah lama berhenti, menyisakan jejak lembab di jalanan yang kini disinari mentari pagi. Seolah semesta merestui hari ini untuk diisi dengan kebahagiaan kecil yang bermakna. Dan dengan hati yang hangat, Tama bersiap, membiarkan rindu yang menumpuk di dadanya menemukan jawabannya dalam kebersamaan yang akan segera hadir, dalam setiap detik perjalanan mereka yang akan terukir manis dalam ingatan.

Pagi itu, Tama melangkah keluar dari rumah dengan semangat yang tak biasa. Angin pagi menyentuh wajahnya lembut, seakan menyambut kehadirannya dalam kehangatan yang jarang ia rasakan. Setiap langkah terasa ringan, setiap detik terasa bermakna, seperti waktu berjalan lebih lambat agar ia bisa menikmati momen ini sepenuhnya.

Kamu, Rumahku.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang