BAB 9: Di Atas Puncak yang Rapuh.

10 3 22
                                    


Di tengah malam yang sunyi, Raka bekerja dalam balutan keheningan yang seolah menguak setiap celah di dalam dirinya. Tak ada hujan yang menetes, namun angin malam berhembus tajam, merayapi setiap lapis kulit dan menyusup hingga ke tulang. Jam di dinding berdetak perlahan, menunjukkan pukul dua pagi. Suasana yang begitu sepi hingga setiap detik terasa terulur panjang, seperti malam yang enggan berakhir.

Sesekali, rasa kantuk yang melandanya tak tertahankan. Raka menguap, menggeser pandangannya sejenak dari jalanan yang lengang, kosong dari hiruk pikuk yang biasa. Ia kembali menunduk, fokus pada buku di tangannya. Cahaya lampu yang redup memantul pada kertas-kertasnya, memantulkan bayangan samar pada wajah Raka. Satu matanya tetap terpejam, masih belum pulih dari luka yang mengingatkannya pada hari-hari penuh kegelapan. Dengan mata satunya yang masih terbuka, ia berusaha tenggelam dalam kata-kata yang tertera, meski pikirannya seringkali melayang, melintasi bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui.

Pintu toko berderit pelan, membawa serta hembusan angin yang masuk bersama seorang pelanggan. Raka tetap fokus pada bukunya, mengucapkan sapaan formal tanpa sedikit pun mengangkat pandangannya. "Selamat berbelanja," ucapnya datar, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan malam. Ia tak mengira siapa pun, hanyalah pengunjung malam yang mungkin terjebak dalam kebutuhan mendesak atau sekadar mencari pengisi kesepian.

Namun, ketika langkah kaki yang berat mendekat ke meja kasir, Raka akhirnya mendongak, seolah dipaksa oleh rasa penasaran yang samar. Ketika matanya akhirnya bertemu dengan sosok di hadapannya, hatinya seakan terhenti. Di sana, berdiri Tama, yang biasanya tampak begitu tegar dan tak tergoyahkan. Tetapi malam ini, bayangan Tama yang ia temui berbeda. Wajahnya sembab, matanya merah seakan tak pernah menemukan ketenangan. Tubuhnya yang dulu tegap kini tampak kurus, nyaris seperti bayang-bayang dirinya sendiri, dan rambutnya berantakan, seolah dia baru saja bangun dari mimpi buruk yang tak kunjung usai.

Raka terdiam, tubuhnya kaku sejenak dalam keterkejutan. Sejenak, dunia terasa terhenti. Hanya ada mereka berdua dalam kesunyian yang menggantung, seakan angin malam dan toko yang kosong menyaksikan pertemuan yang tak terduga ini. Pandangan Raka melembut, berbagai pertanyaan dan kekhawatiran berkecamuk dalam benaknya. Kenapa Tama ada di sini? Apa yang telah terjadi padanya?

Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang lebih dalam, lebih tajam. Sebuah perasaan yang selama ini ia sembunyikan, terkubur di balik rasa sakit dan ketidakpastian. Ia menatap Tama, bukan hanya dengan mata, tetapi dengan hatinya yang terluka, yang sekarang terpanggil oleh keadaan Tama yang tampak lebih rapuh dari sebelumnya. Dan di tengah malam yang sunyi itu, tanpa kata-kata, keduanya menyadari bahwa meski terpisah oleh waktu dan keadaan, mereka tetap terhubung oleh sesuatu yang lebih kuat dari apapun yang pernah mereka alami.

Raka merasakan sebuah dorongan tak tertahankan dalam dadanya. Rasa rindunya pada Tama memuncak, mengalahkan segala rasa sakit dan luka yang belum sepenuhnya sembuh. Tanpa pikir panjang, ia mencoba bangkit dari tempatnya di belakang meja kasir, langkah-langkahnya terasa berat namun penuh kerinduan yang memaksa. Hatinya berdegup kencang, seakan hanya satu pelukan dari Tama bisa meredakan semua keresahan yang menggeliat di dalam dirinya.

Namun, ketika ia baru saja melangkahkan kaki keluar dari tempat kasir, pintu toko kembali berderit, membawa angin yang lebih dingin daripada sebelumnya. Raka dan Tama serempak menoleh, langkah Raka seketika terhenti.

Di ambang pintu, berdiri Satriya—pria yang keberadaannya selalu membayangi Tama, seakan menjadi bayang-bayang yang tak bisa dipisahkan. Raka hampir lupa, bahwa di manapun Tama berada, Satriya pasti tak jauh darinya. Kehadiran Satriya seperti petir yang menyambar di tengah harapannya yang rapuh.

Satriya melangkah masuk dengan keangkuhan yang seolah tak bisa dibendung. Pandangannya melayang pada Tama sejenak sebelum beralih pada Raka, matanya mengeras dengan kebencian yang tak tersembunyi. Ia mendengus, seolah keberadaan Raka di sana hanyalah gangguan kecil yang mengotori suasana. “Begitu lama hanya untuk membeli minum,” ocehnya dengan nada yang mencemooh, seakan waktu yang dihabiskan Tama di toko itu adalah sebuah kesalahan besar.

Kamu, Rumahku.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang