BAB 3: Cinta dan Luka di Ujung Senja.

13 4 12
                                    

Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Langit Bandung yang biasanya menenangkan kini terasa lebih menyesakkan, seolah setiap bintang adalah pengingat akan ancaman yang kian mendekat. Di antara desiran angin malam dan kehangatan semu yang dibawa oleh kebersamaan dengan Tama, Raka tahu ia tak bisa lagi lari dari kenyataan. Waktu terus berdetak menuju tenggat dua hari yang diberikan oleh sang preman. Namun, bisakah ia benar-benar menghadapi ancaman itu sendirian?

Raka terbangun dari posisinya, menoleh ke sebelahnya, melihat Tama yang meringkuk melindungi diri dari dinginnya malam. Sesaat, Raka hanya diam, membiarkan kehangatan batin yang singkat menyelinap ke dalam hatinya. Ia mengambil selimut miliknya dan mencium aromanya-memastikan apakah itu akan membuat Tama tidak nyaman. Setelah merasa yakin, ia menyelimuti Tama dengan hati-hati, seakan menutupi satu-satunya cahaya dalam gelapnya kehidupannya.

Jam dinding menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Perasaan bingung tak berujung mendesak Raka lebih dalam ke dalam jurang keputusasaan. Ancaman preman itu terus menghantui pikirannya, menghimpit dada dengan beban yang tak tertahankan. Raka menghela napas panjang, merogoh saku celananya dan menemukan rokok terakhirnya.

Ia duduk di lantai, bersandar pada ranjang dengan rokok di tangan, kepalanya tertunduk, memikirkan segala kemungkinan yang ada. Setiap hisapan rokok itu seperti detik waktu yang terus berlalu, mengingatkannya bahwa dunia ini tak pernah memberi kesempatan untuk sekadar bernafas. Rokok terakhir, malam terakhir, dan mungkin... harapan terakhir.

"Dunia ini jahat," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Menuntut tanpa memberi kesempatan."

Tatapannya terangkat ke langit-langit kamar kos yang kusam, matanya penuh dengan kegelisahan yang tak bisa diredam. Raka memegang perutnya yang kosong, perut yang tak lagi bisa berbohong akan rasa lapar yang ia tahan sejak pagi. Hanya uang lusuh 20.000 yang tersisa di sakunya, uang yang seolah mengejeknya, terlalu sedikit untuk mengubah nasibnya.

Di tengah keheningan, Raka menangkap pergerakan di sebelahnya. Tama terbangun, meregangkan tubuhnya dan mengucek mata dengan gerakan yang tak disadarinya begitu lembut, begitu damai. Raka tak bisa menahan senyum kecil yang terbentuk di wajahnya, senyum yang lahir dari tempat paling dalam di hatinya, meski tahu apa yang menantinya di luar sana.

"Tidurlah, matahari belum terlihat," ujar Raka dengan nada yang lembut, hampir memohon. Tama menatap Raka, memperhatikan lingkaran hitam di bawah matanya, kekosongan yang tersembunyi di balik senyumnya.

"Kamu belum tidur sama sekali, ya?" tanya Tama dengan suara serak, menunjukkan kekhawatirannya yang tak bisa ia sembunyikan.

Raka menggeleng, mengalihkan pandangannya. "Banyak yang harus dipikirkan."

Tama terdiam sejenak, kemudian tanpa berkata-kata, ia duduk di sebelah Raka. Ia mengambil rokok dari tangan Raka dan meletakkannya di asbak. "Kamu nggak sendirian, Raka," bisiknya, suaranya begitu tenang namun penuh keyakinan. "Aku di sini. Apa pun yang terjadi."

Raka merasa tenggorokannya menegang, tak mampu merespons. Kehangatan Tama begitu dekat, namun terasa seperti bayangan yang akan hilang jika disentuh terlalu keras. Raka menarik napas panjang, seolah mengumpulkan keberanian, sebelum berkata, "Tama... mungkin ini terakhir kalinya kita bisa duduk seperti ini. Dunia kita... terlalu berbeda."

"Jangan ngomong kayak gitu," potong Tama dengan tegas, matanya bersinar dengan tekad yang tak tergoyahkan. "Aku nggak peduli seberapa berbeda dunia kita, Raka. Yang penting... kita hadapi ini bersama."

Raka menunduk, merasakan air mata yang nyaris pecah di balik kelopak matanya. "Aku takut, Tama. Aku takut nggak bisa melindungi kamu."

Tama tersenyum kecil, penuh kelembutan. "Dan aku takut kehilangan kamu. Jadi, biarkan aku tetap di sampingmu."

Kamu, Rumahku.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang