BAB 10: Di Puncak Nafsu dan Asa.

9 3 20
                                    

Di puncak gedung yang rapuh, dengan matahari siang menyinari tubuh mereka, Raka dan Tama tenggelam dalam dunia yang hanya mereka berdua yang mengerti. Ciuman mereka semakin intens, menjadi jembatan bagi hasrat yang telah lama terpendam. Raka memeluk erat pinggang ramping Tama, dan Tama, dalam balutan gairah yang tidak terbendung, membusungkan dadanya. Jemarinya yang halus meremas lembut bisep Raka, kemudian naik perlahan ke belakang lehernya, menarik tengkuk sang dominan agar ciuman mereka semakin dalam.

Raka memejamkan matanya, menelusuri setiap lekuk bibir Tama yang semakin lama semakin penuh dengan nafsu. Keintiman ini adalah pelarian dari segala hal yang mengganggu pikiran mereka, sebuah pelarian yang terasa begitu manis sekaligus mendebarkan.

Wajah Tama memerah, merasakan bagaimana tubuh Raka bereaksi di bawahnya. Sesuatu yang keras mulai bangun, dan Tama merasakannya dengan setiap gerakan kecilnya. Ciuman Raka yang turun menuju dagu dan lehernya semakin membakar api yang sudah berkobar dalam diri Tama. Raka mencium lehernya dengan lembut, bibirnya mengecup seluruh dagu dan leher Tama dengan kasih sayang yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang.

“Raka...” Tama berbisik pelan, lenguhan manis keluar dari bibirnya ketika angin berhembus lembut di sekeliling mereka. Tangan Tama tak henti-hentinya meremas rambut Raka, seolah tak ingin melepaskan dirinya dari pria yang ada di hadapannya ini. Matanya terpejam, memberikan ruang lebih luas untuk Raka yang dengan sabar mencetak bekas ciuman di sepanjang lehernya. Sesekali, Tama menggerakkan tubuhnya perlahan, merasakan bagaimana kerasnya tubuh Raka di bawahnya, dan setiap lenguhan manis yang keluar dari mulutnya membuat napas Raka semakin memanas, menciptakan desiran yang membangkitkan bulu kuduk Tama.

Raka berhenti sejenak, pandangannya menjauh, rahangnya mengeras seakan menahan diri. Tama, yang menangkap kegelisahan itu, menarik dagu Raka dengan lembut, membuat mereka kembali saling bertatapan. Mata mereka bertemu, dan dalam tatapan penuh nafsu itu, Tama memberikan anggukan kecil—sebuah persetujuan tanpa kata-kata.

Seolah memahami isyarat itu, Raka segera mengangkat kaos Tama, memperlihatkan kulitnya yang merona. Puting Tama yang kini terekspos semakin membuat Raka terpesona. Raka menunduk, mengecup dan menghisapnya dengan lembut, lidahnya bermain di sekitar puting itu, menciptakan gelombang kenikmatan yang membuat tubuh Tama bergetar. Tangan Raka yang nakal mulai memainkan pantat Tama, menggerakkan pinggang pria itu untuk memuaskan kejantannya yang sudah mengeras.

“Ah... Raka...” Tama mendesah, menggigit bibir bawahnya, merasakan lidah hangat Raka yang mulai menjelajahi putingnya. Hisapan rakus dari bibir Raka membuatnya tak tahan untuk tidak menjambak rambut pria itu. Lenguhan lembut terus keluar dari sela-sela bibirnya, menambah keinginan Raka untuk semakin dalam menyelami tubuh Tama.

“Raka... aku...” Tama berusaha berbicara di tengah-tengah desahan, tapi suaranya terputus-putus oleh gelombang sensasi yang tak bisa dihentikannya.

Raka hanya tersenyum tipis, melepaskan sesapannya sejenak untuk menjilat dada Tama, berpindah ke sisi satunya dengan gerakan perlahan. Setiap kali bibirnya menyentuh kulit Tama, dia meninggalkan bekas yang menandakan betapa kuatnya keinginan itu. Tama semakin membusungkan dadanya, menikmati setiap sentuhan, setiap gesekan yang menambah panasnya suasana di antara mereka.

Di siang hari itu, di puncak gedung tua yang seolah akan runtuh kapan saja, mereka merasakan dunia berhenti. Tak ada lagi yang penting selain cinta yang kini menguasai mereka, membiarkan mereka tenggelam dalam keintiman yang tak terlukiskan, dalam dunia yang hanya mereka yang tahu.

Setelah merasakan puas bermain dengan puting Tama, Raka perlahan menarik wajahnya, namun napasnya masih terengah-engah, terbebani oleh gelombang hasrat yang tak bisa dibendung. Wajah Tama menunduk, mata sayunya mengaburkan pandangan, bibirnya yang sedikit terbuka tampak seperti mengundang, penuh keinginan yang terpendam di dalamnya. Dengan lembut, Raka menuntun Tama turun dari pangkuannya, memberi ruang di antara mereka meski keintiman tetap membara di udara.

Kamu, Rumahku.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang