BAB 8: Senja yang Memecah Sunyi: Di Antara Cinta dan Takdir.

10 3 18
                                    

Malam itu terasa begitu panjang, seperti malam-malam lainnya setelah Tama mengucapkan kata-kata yang menghancurkan hati Raka. Raka duduk sendiri di sudut kamarnya, sebuah ruang sempit yang kini terasa seperti penjara bagi perasaannya yang remuk. Suara detak jam di dinding berdentang pelan, seolah menghitung setiap detik dari kepedihan yang terus merayap ke dalam hati Raka.

Lampu kamar yang redup menyorot bayangan lembut di atas permukaan dinding yang kusam, menciptakan bayangan yang bergetar seperti sisa-sisa harapan yang mulai memudar. Mata Raka yang masih sehat menatap kosong ke depan, namun pikirannya melayang jauh ke dalam kenangan yang telah lewat—kenangan akan kehangatan Tama, akan cinta yang dulu begitu nyata, namun kini perlahan memudar, seakan dilahap oleh kegelapan yang pekat.

Raka tak bisa mengabaikan rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Bukan hanya karena luka di tubuhnya, tapi luka di dalam dirinya, luka yang terus-menerus mengingatkannya bahwa cinta yang mereka bangun bersama mungkin sudah tak lagi ada. Satu mata Raka masih terbungkus perban, sebuah tanda fisik dari penderitaan yang ia alami, namun hatinya yang terlukalah yang benar-benar membuatnya tak berdaya.

Dia mengingat kata-kata Tama yang terucap dengan berat hati, kata-kata yang tak pernah ingin didengarnya. Tama harus mengakhiri hubungan mereka, bukan karena cinta mereka telah pudar, tapi karena tuntutan yang lebih besar—tuntutan dari keluarga Tama, tuntutan dari dunia yang menolak cinta mereka yang sederhana namun tulus. Raka merasa seluruh dunianya runtuh, seakan semua yang ia cintai direbut paksa darinya tanpa ada cara untuk melawan.

Malam itu, Raka mencoba memahami, mencoba menerima kenyataan, namun hatinya menolak. "Apakah aku benar-benar tak pantas untuknya?" Suara itu berbisik di dalam dirinya, mengalir dengan kepedihan yang tak bisa ia redam. Setiap kenangan bersama Tama kini terasa seperti duri yang menyayat setiap kali ia mencoba mengingatnya. Tawa Tama, sentuhan lembut di tangannya, janji-janji yang dulu mereka buat bersama, semuanya kini berubah menjadi kenangan yang menghantui, kenangan yang ia tahu tak bisa ia raih kembali.

Air mata jatuh satu demi satu, meninggalkan jejak basah di pipi Raka yang pucat. Tangannya gemetar saat ia mencoba menghapus air mata itu, namun semakin ia berusaha, semakin banyak air mata yang turun, seakan kesedihan itu tak ada habisnya. Kesunyian kamar yang dulu memberikan ketenangan kini hanya memperdalam kesendiriannya. Ia merasa seperti tenggelam dalam lautan kepedihan, tak tahu bagaimana caranya berenang ke permukaan lagi.

Sementara itu, di tempat yang jauh berbeda, Tama berdiri di tengah kamar tidurnya yang luas. Dinding-dinding yang biasanya menyambutnya dengan kehangatan kini terasa begitu dingin, seolah-olah telah menyerap seluruh kebahagiaan yang pernah ada di dalam rumah itu. Tama menatap cermin di depannya, melihat bayangan dirinya yang tampak begitu asing. Di dalam cermin, ia melihat seorang pria yang terperangkap antara cinta dan kewajiban, seorang pria yang tak lagi tahu bagaimana cara menemukan jalannya sendiri.

Setiap sudut rumah besar yang dulu ia sebut rumah kini terasa seperti asing baginya. Tempat yang dulu penuh dengan canda tawa dan kehangatan kini hanya menyisakan kesunyian yang mencekam. Keluarganya, yang selalu mengharapkan yang terbaik untuknya, kini menjadi alasan di balik kehancuran cinta yang selama ini ia pertahankan. Tama merasakan hatinya membeku, tak mampu merasakan kehangatan yang dulu selalu ada setiap kali ia memikirkan Raka.

Tuntutan keluarga yang memaksa Tama untuk menjauh dari Raka semakin berat, seakan menambah beban di pundaknya yang sudah penuh dengan tekanan. Tama tahu bahwa keputusan ini dibuat demi kebaikan mereka semua, demi menjaga martabat keluarga dan keselamatan Raka. Tapi kenyataan itu tak membuat hatinya merasa lebih baik. Sebaliknya, ia merasa semakin hampa, semakin jauh dari kehidupan yang pernah ia impikan bersama Raka.

Malam itu, di dua tempat yang berbeda, dua hati yang terluka mencoba bertahan. Raka dengan air mata dan kesedihannya yang tak tertahankan, dan Tama dengan perasaan dingin yang terus menghantui, membawa kesunyian yang tak bisa dihapuskan oleh apapun. Cinta yang dulu mereka bangun bersama kini terancam hancur oleh kekuatan yang tak bisa mereka kendalikan, kekuatan yang perlahan tapi pasti merenggut kebahagiaan yang pernah mereka miliki.

Kamu, Rumahku.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang