BAB 11: Jejak di Taman dan Kesadaran.

11 3 14
                                    

Setelah kejadian yang membuat hubungan mereka semakin dalam, Tama dan Raka sering bertemu secara diam-diam. Setiap pertemuan terasa seperti curahan perasaan yang tak terucapkan, bagai bunga yang mekar hanya saat malam menjelang, tersembunyi dari pandangan dunia. Mereka melewati kelas demi kelas, mengabaikan tanggung jawab akademis, hanya untuk merasakan kebersamaan yang begitu mendebarkan.

Di sebuah taman yang jarang dikunjungi, di bawah naungan pohon yang rimbun, mereka duduk bersebelahan di bangku kayu tua. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma dedaunan yang jatuh. Tangan Raka terulur, jemarinya perlahan menyentuh tangan Tama yang diletakkan di pangkuannya. Sentuhan itu ringan, hampir tidak terasa, namun membawa kehangatan yang menembus ke dalam hati Tama.

"Raka, kita tidak bisa terus seperti ini selamanya, bukan?" suara Tama terdengar seperti bisikan angin, penuh keraguan namun juga kerinduan.

Raka menoleh, menatap mata Tama yang memancarkan kecemasan. "Aku tahu, Tama. Tapi… aku tak bisa jauh darimu. Setiap kali kita bersama, aku merasa hidup. Dunia ini terasa lengkap hanya saat aku bersamamu."

Tama tersenyum tipis, senyum yang penuh kegetiran. "Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi… Satriya…"

"Tama," potong Raka lembut, "kita punya saat ini. Jangan pikirkan yang lain dulu." Jemarinya kini menelusuri pipi Tama, jari-jarinya bermain di helai rambut yang tergerai. "Biarkan aku menikmati setiap detik bersamamu."

Tama menutup mata, merasakan sentuhan Raka yang menenangkan. Di dalam hati, dia tahu Raka benar. Mereka tak bisa memprediksi masa depan, namun mereka memiliki momen ini—di taman sepi, di bawah langit yang mulai merona senja.

Dengan gerakan perlahan, Raka mendekatkan wajahnya, bibirnya menyentuh lembut bibir Tama. Ciuman itu penuh kelembutan, seperti janji yang terucap tanpa kata. Tama membalas ciuman itu, bibirnya merasakan hangatnya perasaan yang membara di dalam dada mereka berdua.

Ketika mereka akhirnya melepaskan ciuman itu, napas mereka masih memburu, seakan-akan dunia di sekitar mereka berhenti berputar.

"Aku ingin lebih dari ini," bisik Raka di telinga Tama, suaranya serak dan penuh hasrat. "Aku ingin memiliki dirimu sepenuhnya, tanpa harus khawatir tentang siapa pun."

Tama membuka matanya, menatap Raka dengan pandangan yang penuh keinginan dan sedikit ketakutan. "Aku milikmu, Raka… hanya kamu yang bisa membuatku merasa seperti ini," jawabnya lirih, tangan Tama kini menggenggam erat tangan Raka yang masih di pipinya.

Raka tersenyum, senyum nakal yang membuat jantung Tama berdebar lebih cepat. "Mungkin kita bisa menemukan tempat yang lebih… pribadi?" goda Raka, suaranya rendah dan penuh godaan.

Tama menggeleng pelan, senyum malu-malu terukir di bibirnya. "Kamu memang nakal, Raka…"

"Tapi kamu menyukainya, bukan?" balas Raka dengan cengiran yang membuat Tama tersipu.

Mereka menghabiskan sisa sore itu dalam keheningan yang nyaman, hanya ditemani oleh suara angin dan dedaunan yang bergesekan. Setelah itu, mereka berjalan beriringan menuju sebuah kafe vintage yang sering mereka kunjungi. Kafe itu kecil dan tenang, dengan dekorasi yang mengingatkan pada masa lalu. Di sudut ruangan, mereka duduk berseberangan, saling menatap dalam diam yang penuh arti.

Raka menatap Tama dengan pandangan penuh kasih sayang. "Tama, apakah kamu pernah berpikir untuk meninggalkan semua ini? Meninggalkan segalanya dan hanya hidup untuk kita?"

Tama terdiam sejenak, pikirannya berkelana pada kemungkinan-kemungkinan yang tak terucapkan. "Aku tidak tahu, Raka… hidup ini rumit. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa kamu di dalamnya."

Raka mengulurkan tangan, menyentuh pipi Tama sekali lagi, kali ini dengan kelembutan yang nyaris menyakitkan. "Aku juga, Tama. Aku hanya ingin kita berdua, tanpa ada yang menghalangi."

Kamu, Rumahku.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang