BAB 14: Harmoni di Dapur Tua.

4 2 22
                                    

Setelah lelah bermain air, Tama duduk di tepi sungai, kakinya masih terendam dalam air yang dingin, membuat kulitnya menggigil meski matahari menyelimuti sekeliling dengan cahaya lembut. Riak-riak air memantulkan sinar matahari, membiaskan ketenangan di tengah aliran yang sejuk. Angin tipis menyapa wajah Tama, membuat rona merahnya semakin kentara, bibirnya gemetar kecil saat udara dingin menelusup di antara napasnya.

Raka yang berenang mendekat, menatap Tama dengan tatapan penuh perhatian. Perlahan, ia memposisikan dirinya di antara paha Tama, air sungai yang membasuh kulit mereka menyatu dengan keheningan yang sejenak mengisi ruang di antara mereka. Raka mendongak, memperhatikan wajah Tama yang terlihat kedinginan.

“Sedingin itu, hm? Bibirmu sampai bergetar,” tanya Raka, suaranya lembut dan hangat. Tama hanya mengangguk pelan, matanya sedikit berkabut oleh embusan angin yang menusuk. Tanpa berkata apa-apa, Raka meraih tangan Tama dengan cepat, menariknya kembali ke dalam air. Tama terkejut, wajahnya merona dan bibirnya mengerucut, bersiap untuk memprotes.

Namun, sebelum satu kata pun sempat terucap, Raka menariknya mendekat, memeluk pinggangnya erat, seolah menyatu dengan air dan angin yang mengelilingi mereka. Mata Raka berkeliling, memastikan tak ada yang melihat, lalu dengan bisikan lirih di telinga Tama, ia berkata, “Aku akan menghangatkanmu.”

Tanpa menunggu jawaban, bibir Raka menyentuh bibir Tama dengan lembut. Ciuman itu hangat, menenangkan, perlahan tapi pasti menggusur rasa dingin yang tadi menusuk tubuh Tama. Tama, dengan perasaan yang bercampur hangatnya cinta dan sejuknya air, melingkarkan tangannya di leher Raka, membalas ciuman itu dengan lembut. Tubuh mereka semakin rapat, seakan air yang mengelilingi mereka adalah saksi bisu dari cinta yang kian memanas, sementara dunia di sekeliling mereka berhenti bergerak, tenggelam dalam kehangatan yang mereka ciptakan.

Di bawah langit senja yang semakin redup, diiringi gemuruh halus ombak yang berirama, Raka dan Tama hanyut dalam gelora yang tak terbendung. Nafas mereka beradu, membawa desah yang mengisi kesunyian alam. Dalam sentuhan yang lembut namun penuh hasrat, Raka perlahan membuka pakaian Tama, melepaskan semua penghalang antara mereka. Jantung Tama berdetak semakin cepat, seolah menyesuaikan irama dengan tarikan nafas Raka yang memburu.

Mata mereka bertemu, namun hanya sejenak sebelum Raka kembali fokus pada tubuh Tama. Dengan gerakan hati-hati namun tegas, Raka mengangkat kaki Tama, membuka jalan bagi hasrat yang telah menunggu. Saat tubuh mereka menyatu, kehangatan menjalar, membakar setiap inci kulit mereka yang bersentuhan. Gelombang air di sekitar mereka bergoyang mengikuti ritme gerakan Raka, membentuk riak yang menceritakan kisah gairah yang tak terucap.

Tama menggigit bibirnya, menahan gemuruh rasa yang mulai menjalari tubuhnya. Dia bisa merasakan setiap detik gerakan Raka, setiap dorongan yang semakin memenuhi dirinya, membawa kenikmatan yang hampir tak tertahankan. Tawa kecil bercampur desahan keluar dari bibir Tama, sementara suara alam seakan ikut berdansa di sekitar mereka, menjadi saksi bisu dari hasrat yang menggebu.

Di tengah derasnya emosi, tubuh Tama mulai bergetar, menandakan batas antara rasa sakit dan kenikmatan semakin kabur. Raka yang masih tenggelam dalam dunianya sendiri, semakin mempercepat gerakannya, mendorong Tama ke puncak rasa. Dentuman di dada mereka menjadi satu, seirama dengan desahan, hingga akhirnya kehangatan itu meledak, mengalir di dalam diri Tama. Tubuhnya gemetar hebat, memeluk Raka erat, seolah ingin menyatu lebih dalam dengan pria yang mencintainya sepenuh jiwa.

Saat semuanya mereda, Raka tak berhenti. Dengan hati-hati, dia menidurkan tubuh Tama di atas sebuah batu besar, memastikan setiap gerakannya nyaman untuk kekasihnya. Kaki Tama kini berada di pundak Raka, posisi yang membuat keduanya semakin terhubung erat. Raka kembali memulai, kali ini lebih cepat, lebih intens. Setiap hentakan membawa mereka lebih jauh dalam pusaran hasrat. Alam seakan terhenti, hanya ada mereka berdua, terjebak dalam waktu yang seolah membeku di tengah gemuruh sungai.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kamu, Rumahku.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang