10#Pelukan pertama Melody

52 4 0
                                    

"Percaya itu memang tidak mudah. tapi aku akan berusaha untuk membuat kamu percaya, Melody"

-Haikal winduraga

______•°•♡•°•______

Waktu berputar dengan cepat, tak terasa langit berubah menjadi warna oranye yang menandakan bahkan sore telah tiba, namun karena tugas piket, Erllen dan Jian mau tak mau masih berada dikelas. Kelas memang tak terlalu kotor, namun apa salahnya jika membuatnya menjadi lebih bersih. Erllen suka suasana yang bersih, oleh karena itu Jian tak bisa menolaknya. Kalau bersama Haikal sih beda cerita, mungkin Jian akan pulang lebih awal. karena debu secuil pun Haikal hanya acuh, benar-benar takkan pernah peduli meski sampah berserakan dimana-mana.

"Jian, kamu sudah selesai belum?" Untuk kesekian kalinya Erllen bertanya tanpa menoleh kearah seseorang yang dipanggil namanya, ia tengah mengelap kaca sembari menikmati indahnya bentangan oranye berpadu awan putih diatas sana.

"Belum Mas, sedikit lagi. Kalau Mas mau duluan silahkan" jawab Jian yang tengah menyapu lantai, anak itu sedari tadi bukannya fokus piket malah terdengar berbincang dengan sapunya. Makanya Erllen terus saja bertanya supaya Jian sadar.

"Kaca sudah selesai Mas lap, Mas mau lanjut buang sampah keluar, kamu memangnya nggak papa Mas tinggal sebentar" Erllen kembali bertanya seraya menaruh kain lap ditempat asalnya, lelaki itu berbalik menghadap Jian yang masih asik mengelus-elus sapu. 

"Ji, biar Mas aja yang sapu kelasnya ya" ucap Erllen, pasalnya ia ingin piketnya segera selesai. Jian sepertinya tengah main-main, seperti biasa imajinasinya terlalu luas. Saking luas nya sampai orang-orang menganggapnya sebagai anak aneh.

"Nggak perlu Mas, sebentar lagi. Sapunya bilang dia lagi males, ini juga lagi Jian bujuk biar sapunya mau"  kata Jian dengan senyum polos ciri khasnya. Erllen hanya bisa membalas senyuman itu, tak tega jika harus menegur, Jian ini tipe laki-laki yang lembut hatinya, sedikit saja dibentak hatinya akan merasa sangat sakit. Mamanya benar-benar baik dalam merawatnya sampai anak itu tumbuh dengan penuh kelembutan.

"Yasudah, Mas pergi keluar sebentar untuk buang sampah. kalau Mas kembali kelasnya harus sudah kamu sapukan, paham?" Peringat Erllen yang langsung diangguki olehnya. Erllen masih tak yakin kalau dirinya kembali Jian akan membereskan aktivitas menyapunya, bahkan kemarin saja dia berbincang dengan pohon hampir tiga jam lamanya. Erllen sebenarnya ragu kalau sikap Jian yang seperti itu akan terbawa sampai ia dewasa, Erllen takut jika dirinya sudah tidak ada diasrama Jian malah sendirian, sebab orang-orang bukan hanya menganggapnya aneh, tapi gila. Mereka menganggap Jian anak tak waras, malah mereka bilang mamanya membuang Jian dengan karena itu.

"Sapu, kita bersihin kelasnya bareng-bareng yuk, kamu jangan malas kayak gini dong, orang malas nggak bakal naik kelas loh" bahkan saat Erllen menutup pintu, Jian masih berbincang dengan sapu itu, seperti perkataannya, ia sedang membujuk sapunya. Lucu, dimata Erllen Jian itu bukan aneh atau gila, hanya saja dia sudah terlalu lama kesepian sampai sebuah benda pun ia anggap sebagai teman.

Bahkan setiap hari Jian selalu bangun pagi-pagi sekali hanya untuk menyapa setiap benda yang berada didalam kamar, dengan antusiasnya ia menyapa kesana kemari pada benda-benda mati yang mustahil sekali menjawab sapaannya. Erllen saja bingung, tapi ia tidak mau ikut campur, biar saja Jian berhalusinasi sesuka hatinya jika memang itu yang membuatnya bertahan dan bahagia disini.

Jian itu definisi bocah yang masih haus akan kasih sayang kedua orangtuanya, apalagi Jian pernah bilang kalau dia tak pernah tau bagaimana rupa sang ayah. Ayahnya dinyatakan meninggal dunia saat dirinya masih berada dalam kandungan, mamanya bilang ayahnya itu sosok laki-laki pekerja keras yang gugur dalam pekerjaannya. Dari sana Erllen merasa ingin lebih dekat dan menemani Jian agar tak kesepian. Anak-anak lain tak pernah menganggapnya dan malah merundungnya, sampai-sampai 6 tahun lalu ia diusir dari kamar asramanya karena berbincang sendirian ditengah malam. Awalnya Jian memang bukan teman sekamarnya, untung saja pak Rijal dengan segera membawa Jian ke kamar yang dia tempati bersama yang lain dan menjelaskan semuanya. Mendengar cerita dari pak Rijal saja membuat hati Erllen sakit, kenapa tak dari awal saja Jian menjadi teman sekamarnya? Toh ia dan yang lain akan menerimanya dengan senang hati.

7 raga 1989 | NCT DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang