BAB 4. PRIA GILA

103 5 0
                                    

Erangan samar mengalun, dahinya mengerut di saat kepalanya dihatam rasa pening. Ranjang berderit, kedua kelopak mata Angkasa terbuka. Sebelum kembali ditutup perlahan, kerongkongannya terasa kering. Kelopak mata Angkasa kembali terbuka, membuat kedua mata elang yang bersembunyi kembali tampak jelas.

"Ugh..., kenapa kepalaku pusing begini."

Jari jemari Angkasa memijit kecil dahinya, merasa ada beban yang menghimpit tangan kirinya. Atensi Angkasa bergerak ke arah sisi ranjang sebelah kiri, kedua bola mata Angkasa hampir saja keluar dari tempatnya. Sosok wanita berambut hitam legam, yang menjadikan lengan tangannya sebagai bantal.

Sialan.

Maki Angkasa di dalam hati, saat ingatan tadi malam bak video panas yang membuat Angkasa memaki dirinya sendiri. Angkasa jelas manusia tapi, kenapa bisa kalah oleh hawa nafsu binatang yang menguasai diri.

Tunggu dulu.

Angkasa mengerutkan dahinya, ia mulai menyusun ingatannya semalam. Ia bergegas pulang dari tempat kerjanya, karena ingat telah meninggalkan gadis tak jelas itu di kediamannya. Sesampainya Angkasa di rumah disambut oleh Mai, seperti biasanya. Ia suguhi air mineral, tidak ada yang aneh. Sampai ia berada di paviliun belakang, Angkasa mengigit bibirnya.

"Lelaki tua bangka itu berulah lagi," gumam Angkasa serak, "astaga, kenapa Tuhan harus memberikan sosok Ayah sesialan itu padaku."

Angkasa baru ingat akan kehadiran sang ayah, dirtariknya napas perlahan ditembusnya dengan kasar dari mulut. Angkasa secara perlahan menarik tangan kirinya, nyaris kebas. Ditariknya selimut tebal itu hingga menutupi wajah Sera, jendral tinggi itu bangkit dari posisi tidurnya. Menurunkan kedua kakinya dari ranjang, meraih pakaiannya. Memakai dengan kilat bawahannya, membiarkan atasannya terbuka begitu saja memperlihatkan pahatan sempurna tubuh seorang jendral tinggi.

Kedua tungkai kakinya diayunkan melangkah menuju pintu ke luar, engsel pintu diputar dan ditarik ke dalam. Benar saja, pintu yang sempat dikunci dari luar tidak lagi terkunci sebab rencana yang telah disusun sudah berjalan dengan lancar. Senyum masam terbit di bibir Angkasa, kepalanya melongok ke arah ranjang.

"Entah siapa yang menjadi sial di sini, dia atau aku," monolog Angkasa serak, wanita di atas ranjang itu jelas telah ia rusak kesuciannya.

Embusan napas kasar mengalun, Angkasa melangkah meninggalkan kamar atas. Pintu ditutup perlahan, Angkasa melangkah menuju anak tangga. Menuruninya dengan cepat, baru saja telapak kakinya menginjak lantai satu. Suara deheman berat mengalun keras, Angkasa membawa atensinya ke arah Agus.

"Bukankah menyenangkan setelah sekian lama tidak menyentuh wanita, huh?" celetuk Agus, "bahkan 5 orang istri yang sudah kamu nikahi pun tidak pernah kamu sentuh. Dia masih perawan dan dia akan menjadi tahanan rumah ini, sampai melahirkan seorang bayi untuk keluarga Laksamana."

Kedua sisi rahangnya mengeras, istri pertama Angkasa adalah wanita yang dicintainya. Wanita yang tidak pernah bisa ia gantikan dengan wanita mana pun, sebelum jabatan Jendral menjadi milik Angkasa. Pria ini setidaknya sangat bahagia bersama sang istri, nyatanya ada bayaran cukup besar di saat ia mendapatkan jabatannya.

"Ini rencana Papa?"

Alis mata tebal Agus mengerut, lelaki tua yang kini memilih meneguk santai kopi hitam itu tersenyum miring. Diletakkannya kembali gelas kopi di atas meja, manik mata tajam mengintimidasi itu langsung terarah pada Angkasa.

"Tentu saja, bagaimana bisa aku mati tanpa melihat cucuku lahir ke dunia ini," sahut Agus.

Speechless sekali Angkasa, mereka berdua sama-sama keras kepala. Sama-sama menjadi bengis karena jabatan dan peristiwa berdarah yang telah mereka lalui, hanya saja bagaimana bisa sang ayah berbuat seperti ini.

ISTRI SEWAAN JENDRAL Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang