Pagi hari, Jakarta diselimuti kabut tipis, namun di dalam gedung pencakar langit Mahendra Corporation, suasana jauh dari tenang. Di lantai 42, seorang wanita muda bernama Laras melangkah dengan hati-hati melewati lorong-lorong yang megah namun dingin. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai asisten pribadi CEO di perusahaan besar itu. Wajahnya tampak tegang, namun ia berusaha menampilkan senyum sopan kepada setiap orang yang ditemuinya. Pikirannya dipenuhi dengan antisipasi dan ketakutan yang bercampur aduk.
Laras, dengan latar belakang pendidikan yang luar biasa dan rekam jejak kerja yang mengesankan, seharusnya tidak perlu merasa gugup. Namun, posisi ini bukanlah pekerjaan biasa. Bosnya yang baru, Arya Mahendra, adalah sosok yang tidak bisa dianggap remeh. Desas-desus tentang dirinya telah lama sampai ke telinga Laras. Banyak yang memuji ketampanan dan kepiawaiannya dalam berbisnis, tetapi lebih banyak lagi yang memperingatkan tentang sifatnya yang dingin, bahkan kejam.
Dengan napas yang tertahan, Laras akhirnya sampai di depan pintu besar yang terbuat dari kayu mahoni. Tertulis di pintu itu: "CEO Arya Mahendra". Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pelan pintu tersebut. Ketika tidak ada jawaban, Laras memberanikan diri untuk membuka pintu. Di balik pintu itu, ia menemukan sebuah ruangan luas dengan jendela-jendela besar yang menampilkan pemandangan kota Jakarta yang sibuk. Ruangan itu elegan, dengan sentuhan modern dan minimalis, tetapi suasananya terasa dingin, hampir tidak ramah.
Di balik meja besar yang berada di tengah ruangan, duduklah Arya Mahendra. Laras mengintip sekilas dan langsung menyadari betapa tampannya pria itu—lebih dari apa yang pernah ia dengar. Dengan setelan hitam yang sempurna, Arya tampak memancarkan aura otoritas dan kekuasaan. Rambutnya yang hitam pekat disisir rapi ke belakang, menonjolkan garis tegas pada rahangnya. Matanya tajam dan penuh perhitungan, seakan bisa menembus siapa pun yang berani menatapnya.
Namun, kecanggungan tak terelakkan. Ketika Laras mencoba menyapa dengan suara lembut, tangannya yang gugup secara tidak sengaja menumpahkan kopi panas yang dibawanya ke atas meja. Mata Arya langsung tertuju pada noda hitam yang mulai menyebar di dokumen-dokumen penting di atas mejanya. Jantung Laras hampir berhenti berdetak, wajahnya pucat seketika. Dalam sekejap, ia merasa bahwa kariernya yang baru saja dimulai mungkin akan berakhir hari itu juga.
"Apa yang kau lakukan?" suara Arya terdengar rendah namun penuh ancaman.
Laras gemetar, dengan cepat mengambil tisu dari tasnya untuk mencoba membersihkan kekacauan yang telah ia buat. "Saya... saya sangat minta maaf, Pak. Saya tidak bermaksud..." kata-katanya terputus ketika ia merasakan tatapan dingin dari Arya yang menusuk dirinya. Tidak ada kemarahan yang terlihat jelas di wajah Arya, hanya ketidakpedulian yang hampir membekukan.
Arya menatap Laras seolah menelanjangi jiwanya, membuatnya merasa kecil dan tidak berarti. Mata hitam pria itu tidak menunjukkan emosi apa pun; hanya ada kegelapan yang dalam dan tak terbaca. "Bersihkan dan keluar," katanya singkat, suaranya hampir tanpa nada. Laras mengangguk cepat, matanya mulai berkaca-kaca saat ia buru-buru menyeka meja dan meninggalkan ruangan itu dengan langkah tergesa.
Saat pintu tertutup di belakangnya, Laras berdiri di lorong dengan perasaan campur aduk. Ia merasa lega karena tidak dipecat di tempat, tetapi perasaan bersalah dan malu terus menggerogoti dirinya. Mengapa ia harus begitu ceroboh di hari pertamanya? Ia merasa bahwa kesan pertama yang ia tinggalkan pada Arya sangatlah buruk, dan itu membuatnya semakin khawatir tentang bagaimana hari-hari selanjutnya akan berjalan.
Namun, meskipun kejadian itu membuat Laras merasa takut dan tidak nyaman, ada sesuatu dalam diri Arya yang membuatnya sulit untuk melupakan pria itu. Tatapan dinginnya yang tajam dan sikapnya yang begitu berwibawa meninggalkan kesan mendalam di benaknya. Bukan hanya ketampanannya yang luar biasa, tetapi juga aura misterius yang menyelimuti pria itu. Laras tahu bahwa Arya adalah tipe orang yang sulit dipahami, dan mungkin juga sulit untuk didekati.
Di sisi lain, Arya Mahendra duduk di belakang mejanya dengan pikiran yang sulit untuk diuraikan. Wajahnya tetap tak terbaca saat ia memperhatikan punggung Laras yang menghilang di balik pintu. Seharusnya dia merasa marah karena insiden kecil itu, tetapi entah kenapa, dia merasa tertarik pada gadis itu. Ada sesuatu dalam diri Laras yang mengingatkannya pada masa lalunya yang kelam—sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman, namun sekaligus tidak bisa diabaikan.
Arya tidak pernah mudah tertarik pada orang lain, apalagi pada seseorang yang bekerja di bawahnya. Namun, Laras berbeda. Cara dia menunduk dengan rasa bersalah, ketidakberdayaannya, dan cara dia berusaha menutupi kegugupannya, semuanya mengingatkan Arya pada masa-masa yang sudah lama ia kubur dalam-dalam.
Pikiran Arya berputar-putar di seputar kenangan masa lalunya, kenangan yang tidak ingin dia ingat namun selalu menghantui. Dia merasa perlu untuk menjaga jarak dari Laras, namun ada dorongan aneh yang membuatnya ingin mengetahui lebih banyak tentang gadis itu. Mungkin, pikir Arya, ini adalah kesempatan untuk menghadapi hantu-hantu dari masa lalunya, atau setidaknya, mencari tahu mengapa Laras memicu ingatan-ingatan itu.
Hari-hari berikutnya tidak lebih mudah bagi Laras. Setiap kali dia harus bertemu dengan Arya, jantungnya berdegup kencang, dan tangannya selalu gemetar sedikit. Arya tetap bersikap dingin dan formal, tidak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa dia mengingat insiden kopi itu. Namun, Laras tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa Arya selalu memperhatikannya dengan cara yang berbeda, seolah-olah ada sesuatu yang sedang dia cari dalam dirinya.
Sementara itu, Arya terus menggali lebih dalam tentang apa yang dia rasakan. Setiap kali Laras berada di dekatnya, dia merasa jantungnya berdegup lebih cepat, sebuah reaksi yang jarang dia alami. Arya tidak suka kehilangan kendali atas emosinya, terutama di tempat kerja. Namun, perasaan yang muncul setiap kali dia melihat Laras membuatnya merasa cemas. Dia takut bahwa perasaan ini akan membawanya kembali ke masa lalu yang sangat ingin dia lupakan.
Semakin Arya mencoba untuk menjauh, semakin dia merasa terikat pada Laras. Dia mencoba mencari tahu lebih banyak tentang gadis itu, mencoba memahami mengapa dia bisa mempengaruhinya dengan cara seperti ini. Arya memeriksa latar belakang Laras, pendidikan, riwayat kerjanya, tetapi tidak ada yang mencurigakan. Laras hanyalah seorang wanita muda yang cerdas dan ambisius, tidak lebih. Namun, Arya merasa bahwa dia belum mengetahui semuanya, seolah-olah ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyuman Laras yang sopan.
Bagi Laras, bekerja dengan Arya adalah pengalaman yang penuh tekanan. Namun, di balik semua tekanan itu, dia juga merasa tertarik pada pria itu. Arya adalah teka-teki yang ingin dia pecahkan. Meskipun dia takut pada pria itu, ada sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak. Mungkin itu adalah ketampanannya yang luar biasa, atau mungkin cara dia membawa dirinya dengan begitu percaya diri dan otoritas. Namun, Laras juga sadar bahwa semakin dia mendekati Arya, semakin besar risiko yang dia ambil.
Hari-hari berlalu, dan dinamika antara Laras dan Arya semakin intens. Mereka berdua terjebak dalam permainan yang tidak diakui, sebuah tarian antara ketertarikan dan penolakan. Laras berusaha keras untuk menjaga profesionalitasnya, tetapi dia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Arya mempengaruhi dirinya dengan cara yang tidak bisa dia jelaskan. Di sisi lain, Arya semakin sadar bahwa dia tidak bisa mengabaikan Laras begitu saja. Ada sesuatu dalam diri gadis itu yang memaksanya untuk menghadapi masa lalu yang selama ini dia coba lupakan.
Pertemuan pertama mereka mungkin tidak berjalan baik, tetapi itu hanya awal dari sebuah hubungan yang penuh dengan ketegangan, misteri, dan emosi yang tak terduga. Bagi Laras, Arya adalah tantangan terbesar yang pernah dia hadapi dalam kariernya, tetapi juga mungkin yang paling menarik. Sedangkan bagi Arya, Laras adalah cermin dari masa lalunya, sesuatu yang harus dia hadapi jika ingin melanjutkan hidupnya. Dan tanpa mereka sadari, takdir mereka sudah saling terkait dalam cara yang tidak bisa mereka hindari.
YOU ARE READING
GAIRAH CINTA CEO TAMPAN
Romanceseorang wanita muda berkerja keras diperusahaan terbesar diindonesia. Ia baru saja diangkat menjadi asisten pribadi seorang CEO di sebuah perusahaan besar.bernama Laras, bertemu dengan seorang CEO tampan dan arogan bernama Arya . Arya, sang CEO, d...