Laras merasa hatinya semakin kacau. Setiap kali Arya menunjukkan sisi lembut dan manusiawi, harapannya kembali tumbuh. Dia berpikir, mungkin ada secercah harapan untuk mengubah pria dingin dan keras itu menjadi seseorang yang lebih hangat, lebih penyayang. Saat Arya menatapnya dengan penuh kelembutan, saat suaranya berubah menjadi lebih lembut ketika berbicara dengannya, Laras merasa ada sesuatu yang berharga dalam diri Arya yang layak diperjuangkan. Ada keyakinan dalam hatinya bahwa jika dia cukup bersabar, cukup mencintai, Arya bisa berubah.
Salah satu momen yang membuat Laras merasa seperti ini adalah ketika mereka terjebak di dalam lift bersama, hanya berdua. Awalnya, suasana terasa canggung dan dingin seperti biasa. Arya tidak banyak bicara, hanya fokus pada ponselnya, sementara Laras mencoba mengendalikan detak jantungnya yang semakin cepat. Namun, tiba-tiba, lift berhenti, dan lampu mulai berkedip. Arya tampak tenang, tapi Laras bisa melihat sedikit ketegangan di wajahnya. Di tengah ketakutan dan ketidakpastian itu, Arya melakukan sesuatu yang tidak terduga. Dia meraih tangan Laras, menggenggamnya erat, dan menatapnya dengan pandangan yang penuh arti.
"Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja," katanya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.
Laras merasakan kehangatan dari genggaman Arya. Untuk sesaat, dunia di sekitarnya seolah berhenti. Ia melihat sisi Arya yang jarang terlihat, sisi yang penuh perhatian dan kepedulian. Saat lift akhirnya bergerak lagi dan mereka keluar, Laras menyadari betapa dalamnya perasaannya untuk Arya. Meski begitu, harapan itu tidak bertahan lama.
Setiap kali Arya menunjukkan sisi lembutnya, dia selalu kembali ke sifat aslinya—dingin, kasar, dan penuh amarah. Pada hari-hari berikutnya, Arya menjadi lebih menjauh, kembali dengan sikapnya yang keras dan arogan. Dia mulai memberikan tugas-tugas yang semakin sulit kepada Laras, sering kali disertai dengan kritik tajam yang membuat Laras merasa tidak dihargai. Laras merasa seperti dia sedang berperang dengan dua sisi yang bertolak belakang dalam diri Arya, dan dia tidak tahu sisi mana yang akan menang.
Di saat-saat seperti itulah, Laras merasa terombang-ambing. Hatinya penuh dengan cinta untuk Arya, tetapi juga dihantui oleh ketakutan. Dia tahu bahwa Arya adalah pria yang berbahaya, pria yang bisa menghancurkan hatinya tanpa ampun. Namun, setiap kali dia mencoba menjauh, kenangan akan momen-momen lembut mereka kembali menghantui pikirannya, membuatnya ragu.
Ada satu malam di mana konflik batin Laras mencapai puncaknya. Setelah seharian penuh tekanan di kantor, di mana Arya terus-menerus memberikan perintah yang keras dan tidak pernah menunjukkan sedikit pun apresiasi, Laras merasa tidak tahan lagi. Ia menunggu hingga semua orang pulang dan mendekati ruangan Arya, hatinya dipenuhi oleh berbagai macam emosi. Ketika ia membuka pintu, ia menemukan Arya duduk di kursinya, menatap ke luar jendela dengan pandangan kosong.
"Ada yang ingin kau bicarakan?" Arya bertanya tanpa menoleh.
Laras merasakan tenggorokannya mengering, tetapi ia harus melakukannya. "Kenapa kau melakukan ini padaku, Arya? Kenapa kau terus-menerus membuatku merasa tidak berharga?"
Arya berbalik menatapnya, matanya tajam, tetapi ada sesuatu yang lain di sana—rasa sakit yang tersembunyi di balik amarahnya. "Kau tidak mengerti, Laras. Semua ini aku lakukan karena aku harus. Dunia ini tidak seindah yang kau bayangkan. Jika kau tidak kuat, kau akan hancur."
Laras menelan ludahnya, mencoba menahan air mata yang menggenang di matanya. "Tapi kau tidak perlu bersikap seperti ini padaku. Aku hanya ingin membantumu, aku ingin kau tahu bahwa ada yang peduli padamu."
Arya terdiam, seolah-olah kata-kata Laras telah menembus benteng yang selama ini dia bangun. Namun, detik berikutnya, dia bangkit dan mendekati Laras dengan tatapan dingin. "Jangan pernah berpikir kau bisa mengubahku, Laras. Aku sudah seperti ini sejak lama, dan tidak ada yang bisa mengubahnya."
Kata-kata itu menghantam Laras seperti tamparan keras. Ia merasa seolah-olah semua upayanya selama ini sia-sia. Namun, meskipun hati kecilnya berkata untuk menyerah, cintanya kepada Arya masih terlalu kuat untuk dilupakan begitu saja. Laras hanya bisa berdiri di sana, menatap Arya yang kembali ke meja kerjanya, mencoba menyembunyikan kesedihan yang mulai menguasai dirinya.
Hubungan mereka semakin rumit. Di satu sisi, Laras ingin terus bertahan, ingin percaya bahwa cinta bisa mengubah segalanya. Tapi di sisi lain, ia mulai meragukan apakah cintanya cukup untuk menembus dinding es yang dibangun Arya. Setiap kali Arya menunjukkan sedikit saja perhatian, Laras merasa seperti diberi harapan baru, hanya untuk kemudian dijatuhkan lagi saat Arya kembali ke sikap aslinya.
Waktu terus berlalu, dan Laras semakin tenggelam dalam dilema yang tidak ada akhirnya. Ia mencintai Arya, tetapi ia juga takut padanya. Ia tahu bahwa hubungan mereka sudah jauh dari normal, tetapi ia tidak bisa menghentikan dirinya untuk terus berharap. Harapan itu, meskipun seringkali menyakitkan, adalah satu-satunya yang membuatnya terus bertahan.
Namun, sampai kapan ia bisa terus hidup dalam bayang-bayang cinta yang tak pasti ini? Laras tidak tahu. Yang ia tahu, setiap kali ia memandang Arya, hatinya akan selalu berperang antara cinta dan ketakutan, antara harapan dan kekecewaan. Dan sampai ia menemukan jawabannya, ia akan terus terjebak dalam pusaran emosi yang tak berujung ini, terombang-ambing antara dua sisi yang bertolak belakang dalam diri Arya.
YOU ARE READING
GAIRAH CINTA CEO TAMPAN
Romanceseorang wanita muda berkerja keras diperusahaan terbesar diindonesia. Ia baru saja diangkat menjadi asisten pribadi seorang CEO di sebuah perusahaan besar.bernama Laras, bertemu dengan seorang CEO tampan dan arogan bernama Arya . Arya, sang CEO, d...