Bab 3 : Permainan Kekuasaan

191 1 0
                                    

Laras mengatur ulang tumpukan dokumen di meja kerjanya, memandangi gedung megah tempat ia bekerja. Sebagai asisten pribadi CEO di perusahaan terbesar di Indonesia, harapannya sudah tinggi. Namun, ketika ia pertama kali bertemu Arya, CEO yang dingin dan menawan, semua harapan itu seolah menipis. Arya dikenal sebagai sosok yang keras dan tanpa ampun. Namun, ada sesuatu di matanya yang membuat Laras merasa terikat, meski ia tahu itu berbahaya.

Setiap pagi, Laras memasuki ruang kerja Arya dengan hati-hati. "Selamat pagi, Pak Arya," sapanya, berusaha menampilkan profesionalisme di hadapan lelaki yang memancarkan kekuatan dan ketidakpedulian. Arya, dengan pakaian jasnya yang rapi, hanya mengangguk sambil menatap layar komputernya. Laras tahu bahwa di balik facade itu, ada sesuatu yang lebih dalam—sebuah ketakutan yang tak terucapkan.

Seiring waktu, Arya mulai memperhatikan Laras lebih dari sekadar asisten. Ia terpesona oleh sikapnya yang penuh semangat dan ketekunannya dalam bekerja. Namun, ketertarikan itu tidak murni; Arya ingin mengontrol Laras, bukan hanya dalam pekerjaan, tetapi juga dalam kehidupannya.

"Laras, saya ingin kamu mengatur jadwal mingguan saya," perintah Arya suatu sore. Suaranya tegas, namun ada nada lembut yang membangkitkan rasa ingin tahunya. "Termasuk siapa yang boleh kamu temui di luar pekerjaan."

"Siapa yang boleh saya temui?" Tanya Laras, terkejut. Ia merasakan gelombang ketidaknyamanan menyapu dirinya.

"Teman-temanmu," jawab Arya tanpa ragu. "Saya ingin kamu fokus pada pekerjaan ini. Kita tidak perlu gangguan dari luar."

Meskipun jantungnya berdebar, Laras menahan diri. "Tapi saya perlu berinteraksi dengan teman-teman saya. Itu penting bagi keseimbangan saya."

Arya memandangi Laras dengan tatapan tajam. "Keseimbangan itu hanya akan mengalihkan perhatianmu. Saya tidak ingin kamu terganggu. Ini demi kepentinganmu dan perusahaan."

Laras merasakan desakan untuk melawan, tetapi kemudian Arya melanjutkan dengan senyuman yang seolah membekukan setiap protes di bibirnya. "Percayalah padaku, Laras. Saya hanya ingin yang terbaik untukmu."

Sejak saat itu, Laras merasa terperangkap. Setiap kali ia merindukan teman-temannya, Arya selalu menemukan cara untuk menariknya kembali. Dia menggunakan pesona dan karisma yang tak terbantahkan. Ketika Laras marah atau frustrasi, Arya akan mendekat, menatap matanya dalam-dalam, dan berbicara dengan nada menenangkan. "Jangan khawatir. Saya di sini untuk melindungimu."

Perlahan, Laras mulai merasa bahwa ia kehilangan kendali atas hidupnya. Arya tidak hanya mengatur jadwal kerjanya, tetapi juga setiap aspek kehidupannya. Laras tidak bisa pergi ke acara reuni dengan teman-temannya, dan saat ia mencoba untuk berbicara dengan mereka, Arya selalu berada di sana, menciptakan alasan untuk menghalanginya.

Suatu malam, saat Laras duduk sendirian di apartemennya, dia merasa terjebak di dalam sebuah penjara yang dibangun Arya. Di luar, suara teman-temannya yang bersenang-senang membuatnya merasa semakin kesepian. Laras mengeluarkan ponselnya, ingin menghubungi salah satu dari mereka, tetapi seolah ada sesuatu yang menahannya. Apa yang akan Arya lakukan jika ia tahu?

Ketika Laras terdiam, pintu apartemennya diketuk. Jantungnya berdebar, dan ia berusaha tenang. "Siapa?" Tanyanya, meski ia sudah tahu jawabannya.

"Aku," suara Arya menjawab tegas. "Buka pintunya."

Laras merasa terjebak antara keinginan untuk melawan dan rasa takut yang mengikatnya. Ia membuka pintu, dan Arya masuk dengan sikap percaya diri yang khas. "Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Laras, berusaha menampilkan ketidak pedulian.

GAIRAH CINTA CEO TAMPANWhere stories live. Discover now