04 - Jas

12 6 16
                                    

   Bulan perak sebesar semangka itu, bertengger di permukaan akasa. Langit yang cerah berhiaskan gemerlap bintang-bintang yang berbinar menemani gagahnya raja malam yang bersinar terang menebar cahaya berkilauan.

     Malam yang memesona. Rembulan yang mulanya terlihat lemah, kini bersinar terang menebar pesonanya. Desir angin berhembus pelan dan membawa ketenangan. Sayup-sayup terdengar suara jangkrik yang sesekali memecah keheningan.

    Helaan napas berhembus pelan bersamaan dengan deru angin yang meniup surai-surai rambut cokelat panjang. "Suasana malam ini terasa lebih indah dari biasanya." Cassia mengukir senyum seraya mengabadikan panorama malam yang selalu terlewatkannya.

"Apakah kamu menyukai malam?" Alden bertanya dengan nadanya yang halus.

    Cassia terkekeh tipis. Kedua sisi pipinya sempat memerah, namun, dalam sekejap lenyap. "Saya tidak bisa menutup perasaan saya." Ia mengakhiri kalimatnya disertai tawa kecil yang membuatnya terlihat seperti gadis yang manis.

    Tanpa sadar, bibir Alden terulas senyum hangatnya. Ia telah tersihir dengan rupa polos Cassia yang kelihatan kekanakan.

"Sayangnya saya tidak bisa mengabadikan pemandangan seperti ini untuk setiap harinya," ungkap Cassia. Ia tertunduk lemas dan memasang raut wajah yang sendu.

    Alden mengangguk pelan memahami perkataan Cassia. "Saya juga mengalami hal yang serupa dengan anda. Bedanya, Dokter Cassia menyukai malam, sementara saya menyukai pagi."

     Cassia mengulas senyum simpul mendapati perkataannya. Kemudian, dia mengambil sendok dan garpu untuk menyantap kue tiramisu yang tersaji di hadapannya.

     Akan tetapi, setiap kali dirinya akan menyantap hidangan manis tersebut, angin seakan mengusiknya. Anila yang berhembus dengan kuat, meniup rambut Cassia yang tergerai panjang.

    Alden melirik sekilas. Ia sadar bahwa Cassia mengalami sedikit kendala hanya untuk menikmati sajian manis yang dipesannya.

"Apa mau pindah ke dalam saja ya, Dok? Di sini anginnya semakin lama semakin kencang juga," tawar Alden, namun, Cassia menolaknya mentah-mentah.

"Oh ... Tapi saya lebih suka di sini sih, sambil menghirup udara segar gitu," balasnya enteng.

    Alden menghela napas panjang, setelahnya ia mengulas senyum tipis sambil mengangguk-angguk pelan. Sejurus kemudian, dia bangkit berdiri lalu beranjak masuk ke dalam cafe.

    Cassia menatap Alden dengan kebingungan saat melihatnya masuk ke dalam cafe tanpa meninggalkan kata-kata.

"Apa yang mau dia lakukan coba di dalam?" gumamnya penasaran.

    Tetapi, Cassia tak ingin ambil pusing. Bisa saja Alden masuk ke dalam karena ingin ke toilet ataupun memesan makanan lagi.

    Dia kembali melahap kue tiramisunya, namun, berkali-kali juga rambutnya diterpa angin yang membuat dirinya tak berhenti mengumpat.

"Aishhh! Angin ini kenapa sih?! Mentang-mentang angin gak punya KTP, jadi semena-menanya gitu?" umpatnya gusar.

    Ia lekas membuka tasnya, merogoh isi di dalamnya, barangkali saja dirinya menemukan karet yang bisa digunakan untuk mengikat rambutnya.

    Sewaktu dirinya sibuk mencari, ia merasa seperti ada yang menyentuh rambutnya. Sesaat dirinya mengalihkan pandangan ke arah belakang, dia mendapati sosok Alden yang tengah mengikat rambutnya.

"Maaf jika saya sedikit lancang," timpal Alden merasa bersalah.

      Cassia membatu sesaat, ia tak menduga jika Alden akan melakukan hal sepele seperti ini demi kenyamanannya saja.

Sunshine At Midnight Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang