05 - Hadiah

10 4 5
                                    

   Lembaran demi lembaran tisu ditariknya berulang kali dari dalam kotak biru berbentuk persegi panjang.

   Cassia mengusap air mata yang berjatuhan di pipinya dengan selembar tisu yang digenggamnya. Sayangnya, cairan bening yang berasal dari netranya tak henti-hentinya mengalir dengan deras meski berulang kali dia mengusapnya.

   Alden terpaku memandangi Cassia yang sedari tadi berusaha menghapus air matanya, padahal, tangisannya tak kunjung berakhir.

   Dia refleks mencengkeram tangan Cassia juga mengambil tisu yang semula digenggamnya.

"Tangisanmu belum usai, tak perlu berusaha menutupinya dengan berkali-kali mencoba memghapusnya. Luapkan saja emosimu, tidak perlu memendamnya. Kalau kamu masih mau menangis, maka menangislah sekeras-kerasnya! Anggap saja aku tidak ada di sini. Kalau kamu mau meluapkan amarahmu secara fisik, aku siap mengantarkanmu ke tempat yang kau butuhkan."

   Cassia tertegun mendapati perkataan Alden. Ia menundukkan kepalanya, dan justru tangisannya semakin menjadi.

   Alden menghela napas panjang. Ia mengusap bahu Cassia. Di detik berikutnya, dia beranjak berdiri dan melangkah mendatangi dispenser di sudut kiri ruangan.

   Ia memperoleh segelas air, mengisi gelas tersebut dengan air hangat dari dispenser. Setelahnya, dia kembali menghampiri Cassia dan meletakkan gelas yang telah terisi air di dekatnya.

"Ini minum dulu." Alden berujar sembari mengulurkan segelas air yang sempat ditaruhnya di meja.

   Cassia menatap Alden sekilas. Ia menerima pemberiannya, dan langsung ditegaknya air tersebut sampai tak tersisa setetes pun.

"Terima kasih," tutur Cassia sembari mengulas senyum simpul.

   Alden mengangguk perlahan. Kemudian ia meraih ponsel Cassia yang tergeletak di meja. "Bolehkah aku meminjamnya sebentar?"

  Cassia mengiyakannya tanpa menanyakan terlebih dahulu alasan Alden menggunakan ponselnya.

   Tetapi, tenang saja. Alden meminjam ponsel Cassia bukan untuk hal macam-macam kok. Dia hanya ingin memasukkan nomornya ke kontak hp sang dokter psikiater cantik agar mereka lebih mudah untuk berkomunikasi kedepannya.

   Seusai itu, Alden mengembalikan ponselnya pada pemilik aslinya. "Kalau ada apa-apa, langsung chat saja ke nomorku. Sekarang, kamu bisa lanjutin lagi nangisnya di sini, aku akan menunggu di ruangan lain biar kamu gak merasa terusik."

   Cassia tak merespon perkataannya. Tetapi, ketika Alden akan melangkah pergi, ia malah mencegatnya.

"Anu ... Apakah kamu tahu studio musik di dekat sini?" tanya Cassia dengan wajah memelas.

***

   Suasana hening yang disertai dengan kegelapan, menyelimuti seisi ruangan yang selalu terkunci hampir setiap harinya. Sesekali tempat itu dikunjungi, misalnya seperti disaat mengisi waktu luang.

   Pintu yang terkunci, kini dibuka. Di detik berikutnya, lampu pun turut dinyalakan. Sejurus kemudian, Alden masuk ke dalamnya disusul dengan Cassia.

   Alden menarik sehelai kain yang menutup alat-alat musik miliknya. Ia juga sempat meniup debu yang menempel di sudut keyboard piano dan di drum.

"Ini kalau mau dimainin, mainin aja, ya! Anggap aja alat-alat musik yang ada di sini seperti punyamu sendiri," papar Alden mengizinkan Cassia untuk menggunakan alat musiknya.

"Apakah ini semua milikmu?" tanya Cassia penasaran, dan Alden membalas dengan anggukan. "Jadi, studio musik ini benar-benar milikmu pribadi?! Wahh ... Hebat!"

Sunshine At Midnight Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang