01 - Lantai 8

43 22 55
                                    

"Aiden ... Ayen ... Di mana kalian?" Sewujud wanita dewasa berjalan ke sana kemari sembari berteriak memanggil nama kedua putranya, di tengah kobaran api yang hampir melahap seisi gedung perhotelan.

   Wanita itu berlarian dari satu sisi ke sisi lainnya tanpa jeda, mencari sang buah hati yang masih terjebak di dalam sebuah kamar hotel. Tak peduli apa yang akan terjadi dengan dirinya, ia terus berkelana sampai dapat menemukan keberadaan anaknya.

   Di tengah penelusurannya, samar-samar dirinya mendengar suara teriakan meminta pertolongan yang bersumber dari sebuah kamar yang letaknya kebetulan tak begitu jauh dari lokasinya.

   Tanpa pikir panjang, dia lekas mendatangi ruangan tempat di mana suara teriakan berasal. Dan ketika tiba di depan pintu, ia cergas mendobrak pintunya dengan mengandalkan tubuh mungilnya.

   Sewaktu pintu telah terbuka, dia mendapati kedua putranya yang rupanya berada di ruangan tersebut. Sedari tadi, si sulung berteriak meminta pertolongan seraya mengangkat lemari yang menimpa kaki adiknya.

   Menjumpai sang buah hati yang terluka, tentu saja sebagai seorang ibu ia tak akan tinggal diam. Dia dengan cepat melesat ke arah si bungsu, kemudian mengangkat lemarinya dibantu putra sulungnya.

   Seusai menyingkirkan lemari yang menimpa si bungsu, ia mendekap tubuh putra kecilnya erat-erat sembari menitihkan air mata cukup deras.

"Maafkan Ibu karena melalaikanmu." Dia merasa bersalah meskipun dirinya telah menyelamatkan anaknya di waktu yang tepat.

"Mama ... Kaki aku sakit." Si bungsu meringis kesakitan, mencipta kecemasan di hati sang ibunda.

   Mengetahui hal itu, sang wanita dewasa cergas menggendong buah hatinya di punggungnya, dan bergegas meninggalkan ruangan tersebut.

   Akan tetapi, ketika ia baru saja akan melangkah pergi, putra sulungnya menggenggam tangan kanannya. Dan karena hal sepele itu, malah membuatnya berhenti.

   Wanita dewasa mengalihkan pandangannya, melempar tatapan tajam pada putra sulungnya. Tak sampai situ, ia menepis tangan si sulung dengan cukup kasar. "Jangan sentuh tanganku, bajingan! Kau hanyalah seorang pembawa sial! Enyahlah!"

   Bagai disambar petir di siang bolong, sang anak sulung tertegun mendengar kata-kata tak pantas yang dengan mudahnya terlontar dari lisan ibu kandungnya sendiri.

   Cengkeraman tangannya melemah, sehingga sang ibu dapat meloloskan dirinya, meninggalkan tempat yang tak lama lagi akan hangus terbakar.

"Aku salah dengar, 'kan? Tak mungkin ibu bilang seperti itu, bukan?" Dia masih tak bisa menerima situasi.

   Tubuhnya melemah, membuatnya terjatuh tak berdaya di atas lantai. Dadanya terasa sesak, ditambah dengan pandangannya yang perlahan memburam.

"Ibu ... ibu tak mungkin meninggalkan aku seorang diri di sini! Ini pasti cuma khayalanku saja!" gumamnya. Tanpa ia sadari, cairan bening yang tak lagi bisa terbendung, luruh dari netranya.

   Air mata berjatuhan deras, membasahi pipi lembut yang memerah. Beberapa kali dia mengusap pipinya, namun, air-air itu tak henti mengalir dari netranya.

"Mengapa? Mengapa aku tidak diselamatkan? Mengapa mereka meninggalkanku?" Ia menangis tersedu-sedu sambil sesekali mengusap air matanya.

   Di detik berikutnya, seorang petugas pemadam kebakaran terlihat memerhatikan bocah berumur 6 tahun yang tengah menangis, dari arah luar jendela.

   Dia menatap ke arah bawah, di mana rekan-rekan sedivisinya menyuruhnya untuk segera turun lantaran mengira bahwa semua orang telah dievakuasi.

   Namun, ia mengabaikan mereka dan memilih untuk bertindak nekat demi menyelamatkan satu korban yang tersisa.

Sunshine At Midnight Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang