Keputusan di Persimpangan
Hari-hari berlalu setelah pameran sains, namun percikan kecil dari kebersamaan Andreas dan Brianna mulai membesar menjadi api yang sulit untuk diabaikan. Meski mereka terus bersikap seperti biasa, tanpa disadari, ada perasaan yang semakin kuat tumbuh di antara mereka. Perasaan itu seperti api yang membara, namun terhalang oleh dinding tebal yang tidak kasat mata.
Pada suatu hari, sekolah mengadakan acara olahraga tahunan. Setiap kelas berpartisipasi dalam berbagai cabang olahraga, dan suasana di sekolah menjadi sangat meriah. Brianna, yang sejak awal selalu aktif dalam kegiatan seperti ini, bersemangat mengikuti pertandingan voli antar kelas. Andreas, yang lebih suka menghindari pusat perhatian, justru merasa terlibat lebih jauh ketika Brianna mengajaknya untuk menonton pertandingan timnya.
Di lapangan, Brianna tampak percaya diri dan penuh energi, memimpin timnya dengan semangat yang luar biasa. Andreas duduk di bangku penonton, memperhatikan Brianna dengan senyum tak terbendung. Di setiap gerakan dan sorakan Brianna, Andreas merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar kekaguman. Ada sesuatu yang mendalam, sesuatu yang ingin dia ungkapkan, tapi terhalang oleh rasa takut dan keraguan.
Pertandingan berjalan sengit, dan tim Brianna berhasil memenangkan set pertama. Di sela-sela istirahat, Brianna berlari ke arah bangku penonton untuk minum. Andreas yang sejak tadi diam-diam memperhatikan, akhirnya memutuskan untuk memberanikan diri.
"Brianna, kamu luar biasa!" seru Andreas sambil berdiri dan melambaikan tangannya.
Brianna tersenyum lebar, wajahnya yang berseri-seri semakin membuat hati Andreas berdebar. "Terima kasih, Andreas! Aku nggak akan bisa sebersemangat ini tanpa dukunganmu."
Andreas merasa jantungnya berdetak semakin kencang. Dia ingin sekali mengungkapkan perasaannya saat itu juga, namun situasi di sekitar mereka membuatnya ragu. Brianna kembali ke lapangan, dan Andreas hanya bisa duduk diam, bertanya-tanya kapan waktu yang tepat untuk mengatakannya.
Pertandingan berlanjut hingga set terakhir, dan tim Brianna berhasil meraih kemenangan. Sorakan riuh memenuhi lapangan, dan Brianna disambut oleh teman-teman sekelasnya dengan pelukan dan tepukan penuh semangat. Andreas menunggu di pinggir lapangan, menanti kesempatan untuk bisa bicara lagi dengan Brianna.
Setelah euforia kemenangan mereda, Brianna mendekati Andreas dengan wajah penuh kebahagiaan. "Aku nggak percaya kita menang! Ini semua berkat dukungan kamu juga."
Andreas tertawa kecil. "Kamu yang hebat, Bri. Aku cuma duduk di sini dan bersorak."
Brianna tersenyum dan menatap Andreas dengan lembut. "Andreas, aku punya sesuatu yang ingin aku bilang."
Andreas terkejut. "Apa itu?"
Sebelum Brianna sempat menjawab, Melati dan Rara tiba-tiba datang, menyela percakapan mereka. "Bri, ayo kita foto sama tim!" seru Melati sambil menarik tangan Brianna.
Brianna tersenyum meminta maaf kepada Andreas. "Nanti kita lanjutin ya."
Andreas hanya bisa mengangguk, menahan rasa kecewanya. "Ya, nanti."
Brianna pergi bersama teman-temannya, meninggalkan Andreas dengan banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya. Apa yang ingin Brianna katakan? Apakah dia merasakan hal yang sama? Andreas merasa semakin terjebak dalam perasaannya sendiri, tidak tahu bagaimana caranya keluar dari situasi ini.
Malam harinya, ketika Andreas kembali ke rumah, dia tidak bisa berhenti memikirkan Brianna. Keinginan untuk mengungkapkan perasaannya semakin kuat, namun ketakutannya akan konsekuensi dari pernyataan itu juga terus menghantuinya. Dia tahu bahwa satu kata saja bisa mengubah segalanya, baik itu menjadi lebih baik atau sebaliknya.
Di sisi lain, Brianna juga merasa gelisah. Saat dia berbaring di tempat tidurnya, pikirannya tidak bisa lepas dari Andreas. Dia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan di antara mereka, tapi dia tidak yakin apakah itu perasaan yang pantas diungkapkan. Dia takut jika dia mengatakannya, dia akan kehilangan seseorang yang sangat berharga dalam hidupnya.
Pagi berikutnya, di sekolah, Andreas dan Brianna kembali bertemu, kali ini di koridor yang sepi. Mereka berhenti sejenak, saling memandang dengan perasaan yang tertahan.
"Andreas, tentang kemarin..." Brianna memulai, tapi Andreas segera memotongnya.
"Brianna, aku juga punya sesuatu yang ingin aku bilang," Andreas berkata dengan suara gemetar. "Aku... aku sudah lama merasakan ini, tapi aku terlalu takut untuk mengatakannya."
Brianna menatap Andreas dengan mata lebar, hatinya berdebar kencang. "Apa itu, Andreas?"
Andreas mengambil napas dalam-dalam, mengumpulkan semua keberanian yang dia miliki. "Brianna, aku... aku suka sama kamu. Lebih dari sekadar teman."
Brianna terdiam, mulutnya sedikit terbuka namun tidak ada kata-kata yang keluar. Andreas menunggu dengan cemas, takut akan reaksi Brianna.
"Aku... aku juga, Andreas," jawab Brianna akhirnya, suaranya pelan namun tegas. "Aku juga merasakan hal yang sama."
Keduanya saling memandang, merasakan beban yang selama ini mereka simpan perlahan terangkat. Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan percakapan, lonceng tanda masuk kelas berbunyi, memaksa mereka untuk kembali ke rutinitas sekolah.
"Bisakah kita bicara nanti?" Brianna bertanya, mencoba menyembunyikan perasaan campur aduknya.
Andreas mengangguk. "Tentu, nanti kita bicara."
Hari itu berjalan lambat bagi keduanya, seakan waktu bergerak lebih lambat dari biasanya. Namun, ada perasaan lega yang mengiringi setiap langkah mereka. Meskipun mereka tahu bahwa keputusan di persimpangan ini akan membawa perubahan besar, mereka juga menyadari bahwa itu adalah sesuatu yang sudah lama mereka nantikan.
Namun, apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah perasaan mereka akan membawa kebahagiaan atau justru membuat segalanya menjadi lebih rumit?
Saat malam tiba, Andreas dan Brianna sama-sama menyadari bahwa mereka tidak bisa lagi kembali seperti sebelumnya. Keputusan sudah diambil, dan sekarang mereka berada di persimpangan yang akan menentukan arah dari hubungan mereka. Dan meskipun bintang-bintang di langit terus menjadi saksi bisu, kali ini mereka siap menghadapi kenyataan yang ada di depan mereka, apa pun itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Percikan Bintang
Teen FictionDi sebuah SMA ternama, dua siswa dari kelas yang berbeda, Andreas Mahesta dan Brianna Azura, menyimpan perasaan satu sama lain yang tidak pernah diungkapkan. Meskipun sering bertemu dalam berbagai kegiatan sekolah, keduanya lebih sering terlibat dal...