Bab 3

1 0 0
                                    

Kilau Bintang di Balik Layar

Hari pameran sains akhirnya tiba. Seluruh sekolah berubah menjadi lautan kreativitas dengan berbagai stan yang menampilkan proyek-proyek ilmiah dari setiap kelas. Andreas dan Brianna, bersama tim mereka, sudah siap dengan stan yang mereka kerjakan selama berminggu-minggu. Stan itu tampak mencolok dengan dekorasi bintang-bintang kecil yang digantung di sekelilingnya, persis seperti yang Brianna bayangkan.

Andreas sedang sibuk memastikan semua peralatan berfungsi dengan baik ketika Brianna mendekatinya, membawa beberapa brosur yang akan dibagikan kepada pengunjung.

"Semua sudah siap, kan?" tanya Brianna sambil meletakkan brosur-brosur itu di meja.

Andreas mengangguk. "Sudah. Aku udah cek semuanya dua kali. Harusnya nggak ada masalah."

Brianna tersenyum puas. "Bagus. Aku yakin stan kita bakal menarik banyak perhatian."

Di sisi lain aula, teman-teman dari kelas Brianna—Rara, Melati, dan yang lainnya—sedang mengawasi dengan saksama. Rara terutama, tidak bisa menghilangkan kekhawatirannya. Dia melihat Brianna dan Andreas bekerja sama dengan begitu akrab, dan itu membuatnya merasa semakin tidak nyaman.

"Dia kelihatan terlalu dekat sama Andreas," gumam Rara pada Melati yang berdiri di sebelahnya.

Melati menoleh, menatap Rara dengan heran. "Kenapa sih kamu terlalu mikirin ini? Brianna cuma mau stan mereka berhasil. Itu aja."

Rara menggelengkan kepala, matanya masih terpaku pada Brianna dan Andreas. "Tapi kamu tahu kan, Brianna biasanya nggak kayak gini. Dia jarang banget dekat sama cowok, apalagi dari kelas lain."

Melati menghela napas, lalu berkata dengan nada lebih lembut, "Mungkin mereka cuma nyambung dalam hal ini. Jangan terlalu khawatir. Brianna tahu apa yang dia lakukan."

Rara tetap diam, namun kekhawatirannya tidak berkurang sedikit pun.

Di stan mereka, Brianna memerhatikan kerumunan pengunjung yang mulai berdatangan. "Aku senang banyak yang tertarik sama proyek kita," katanya dengan semangat.

Andreas tersenyum tipis. "Aku juga. Semoga mereka bisa memahami konsep yang kita coba sampaikan."

Beberapa saat kemudian, seorang guru yang bertugas mengawasi pameran mendekat. "Bagus sekali, kalian berdua," puji guru itu sambil mengamati stan mereka. "Dekorasi ini benar-benar menarik perhatian."

"Terima kasih, Bu," jawab Brianna sambil tersenyum lebar. "Kami ingin membuat sesuatu yang tidak hanya informatif tapi juga menarik."

Guru itu mengangguk puas sebelum melanjutkan tur keliling aula. Setelah guru itu pergi, Brianna berbisik pada Andreas, "Kamu lihat, kan? Semua berjalan sesuai rencana."

Andreas mengangguk, tapi matanya tertuju pada sesuatu di kejauhan. Dia melihat beberapa siswa dari kelas lain yang tampaknya sedang memperhatikan mereka sambil berbisik-bisik. Andreas tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan, tapi dia merasakan sesuatu yang tidak nyaman.

"Brianna," Andreas memanggil dengan suara pelan. "Ada yang aneh. Mereka terus memperhatikan kita."

Brianna menoleh, mengikuti pandangan Andreas. "Mereka mungkin cuma penasaran. Nggak usah terlalu dipikirin."

Namun, Andreas tidak bisa menghilangkan kegelisahan itu dari pikirannya. Dia tahu bahwa banyak siswa di sekolah itu suka mempermasalahkan hal-hal kecil, terutama soal perbedaan kelas. Dia tidak ingin membuat masalah untuk Brianna, tapi dia juga tidak ingin mengabaikan perasaan aneh itu.

Hari berlanjut dengan berbagai kegiatan di pameran, dan stan mereka terus menarik perhatian. Andreas dan Brianna sibuk menjelaskan proyek mereka kepada para pengunjung, dan dalam kesibukan itu, mereka sempat melupakan kekhawatiran mereka.

Saat sore menjelang, dan pameran hampir selesai, Andreas dan Brianna akhirnya mendapat waktu untuk beristirahat sejenak. Mereka duduk di sudut aula, memandang kerumunan yang mulai berkurang.

"Brianna, aku senang kita bisa kerja sama seperti ini," kata Andreas dengan suara pelan. "Tapi aku nggak bisa berhenti mikirin apa yang orang lain bilang tentang kita."

Brianna menoleh, menatap Andreas dengan mata yang penuh pengertian. "Andreas, aku ngerti perasaan kamu. Tapi jujur, aku nggak peduli sama apa yang orang lain pikir. Yang penting kita berhasil dan kita menikmati prosesnya."

Andreas tersenyum kecil, merasa sedikit lega mendengar kata-kata Brianna. "Kamu benar. Aku terlalu banyak mikir."

"Tapi itu nggak masalah. Aku juga kadang mikir tentang hal-hal yang nggak penting," Brianna tertawa kecil. "Kita cuma perlu tetap fokus pada apa yang kita inginkan, bukan pada apa yang orang lain pikirkan."

Saat itu, di luar aula, matahari mulai terbenam, mewarnai langit dengan kilau oranye dan ungu. Andreas dan Brianna melihat ke arah jendela besar di aula, menyaksikan langit yang berubah warna. Dalam keheningan itu, Andreas merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pameran sains yang terjadi di antara mereka.

"Brianna," panggil Andreas lagi, suaranya lebih pelan kali ini.

"Ya?" Brianna menoleh, menatap Andreas dengan senyum lembutnya.

Andreas ingin mengatakan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang sudah lama ia rasakan tapi tak pernah ia ungkapkan. Namun, seperti biasa, kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Dia hanya bisa menatap Brianna dan tersenyum kembali.

"Nggak, nggak ada apa-apa," Andreas akhirnya berkata.

Brianna tersenyum lagi, kali ini dengan sedikit penasaran. "Kamu selalu bilang gitu. Mungkin suatu hari nanti kamu bisa bilang apa yang sebenarnya kamu rasakan."

Andreas tertawa kecil, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. "Mungkin. Suatu hari nanti."

Malam itu, pameran sains berakhir dengan sukses. Namun, bagi Andreas dan Brianna, itu hanyalah awal dari cerita mereka. Kilau bintang di balik layar mengiringi langkah mereka keluar dari aula, menyisakan percikan perasaan yang tak terungkap, tapi semakin kuat setiap harinya. Mereka tidak menyadari bahwa bintang-bintang itu mulai menyusun takdir yang akan membawa mereka ke jalur yang lebih rumit dan penuh perasaan, dengan banyak hal yang belum terungkap di antara mereka.

Percikan BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang