Bab 7

0 0 0
                                    

Titik Balik yang Tak Terelakkan

Minggu-minggu berikutnya berjalan dengan cepat, tapi bagi Andreas dan Brianna, waktu terasa melambat. Mereka terus menjalani hari-hari mereka di sekolah seperti biasa, namun di dalam hati, masing-masing dari mereka tahu bahwa ada sesuatu yang mendekat—sebuah titik balik yang akan menguji ketahanan hubungan mereka.

Di sekolah, gosip tentang mereka tidak kunjung mereda. Setiap kali mereka bersama, tatapan dan bisikan teman-teman mereka semakin tajam. Meskipun Andreas dan Brianna berusaha untuk tidak memedulikan semua itu, tekanan dari luar semakin terasa. Rasa frustasi dan cemas mulai menggerogoti kepercayaan diri mereka, terutama Andreas.

Pada suatu pagi, saat mereka duduk di bangku taman sekolah sebelum kelas dimulai, Andreas terlihat murung. Brianna bisa merasakannya, dan dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya.

"Kenapa kamu kelihatan sedih, Andreas?" tanya Brianna, suaranya lembut namun penuh perhatian.

Andreas menghela napas panjang sebelum menjawab. "Aku cuma mikirin banyak hal, Bri. Tentang kita, tentang sekolah... semuanya terasa berat."

Brianna mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Andreas dengan lembut. "Aku juga merasa begitu, Andreas. Tapi kita udah sepakat untuk menghadapi ini bersama, kan?"

Andreas tersenyum tipis, tapi senyumnya tidak mencapai matanya. "Ya, kita memang udah sepakat. Tapi jujur aja, Bri, aku mulai merasa ragu. Aku nggak yakin kita bisa terus seperti ini."

Kata-kata Andreas membuat Brianna terkejut. Dia tahu bahwa mereka sedang berada di situasi yang sulit, tapi mendengar Andreas meragukan hubungan mereka membuat hatinya sakit. "Apa maksud kamu, Andreas? Kamu mau menyerah?"

Andreas menggeleng, tapi dia tidak bisa menyembunyikan kekalutan di matanya. "Bukan itu maksudku. Aku cuma... aku takut kita bakal terluka lebih dalam kalau kita terus seperti ini. Aku nggak mau kita saling menyakiti."

Brianna terdiam, mencoba mencerna apa yang Andreas katakan. Dia bisa merasakan ketakutan Andreas, dan dia tahu bahwa perasaan itu juga ada di dalam dirinya. Tapi dia tidak ingin menyerah begitu saja.

"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan, Andreas?" Brianna bertanya dengan suara yang hampir berbisik.

Andreas menatap Brianna dengan rasa sakit yang mendalam. Dia tidak ingin melukai Brianna, tapi dia juga tidak ingin mereka berdua terjebak dalam hubungan yang penuh tekanan seperti ini. "Mungkin... mungkin kita harus ambil jarak untuk sementara. Bukan berarti aku nggak sayang sama kamu, Bri. Tapi aku merasa kita butuh waktu untuk berpikir, untuk menenangkan diri."

Brianna merasa dadanya sesak mendengar usulan Andreas. "Jarak? Andreas, kita baru saja mulai, dan sekarang kamu mau kita mundur?"

Andreas merasa hatinya hancur melihat Brianna terluka, tapi dia merasa tidak punya pilihan lain. "Aku nggak mau kita berpisah, Bri. Aku cuma butuh waktu untuk memastikan kalau kita benar-benar siap menjalani ini."

Air mata mulai menggenang di mata Brianna, tapi dia berusaha untuk tetap tegar. "Kalau itu yang kamu mau, aku akan menghormati keputusan kamu. Tapi Andreas, ingatlah bahwa aku ada di sini karena aku ingin bersamamu, bukan karena tekanan dari luar."

Andreas mengangguk, merasa bersalah karena membuat Brianna sedih. "Aku tahu, Bri. Dan aku benar-benar menghargai itu. Aku hanya ingin kita mengambil langkah yang tepat, agar kita nggak menyesal nantinya."

Brianna tidak bisa berkata-kata lagi. Dia hanya mengangguk pelan, berusaha menahan perasaannya agar tidak tumpah di depan Andreas. Mereka duduk dalam keheningan yang menyakitkan, sementara di dalam diri mereka, ada perasaan hampa yang mulai mengisi ruang yang sebelumnya dipenuhi oleh harapan dan kebahagiaan.

Setelah beberapa saat, Brianna akhirnya berdiri, menarik napas dalam-dalam. "Aku rasa aku harus ke kelas sekarang. Kita bicara lagi nanti, ya?"

Andreas hanya bisa mengangguk. "Ya, nanti kita bicara lagi."

Brianna berjalan meninggalkan taman, meninggalkan Andreas dengan perasaan yang tidak menentu. Andreas memandangi punggung Brianna yang menjauh, merasa seolah-olah dia baru saja membuat keputusan terberat dalam hidupnya. Dia berharap bahwa waktu akan memberikan jawaban yang dia butuhkan, tapi di sisi lain, dia juga takut bahwa keputusan ini justru akan menghancurkan semuanya.

Hari-hari berikutnya terasa asing bagi mereka berdua. Andreas dan Brianna tetap saling bertemu di sekolah, tapi ada jarak yang kini terasa di antara mereka—jarak yang tidak hanya bersifat fisik, tapi juga emosional. Percakapan mereka yang dulunya penuh canda dan tawa kini menjadi canggung dan singkat. Mereka sama-sama merindukan keakraban yang dulu mereka miliki, namun tidak tahu bagaimana cara mengembalikannya.

Brianna sering kali menemukan dirinya terdiam di kelas, merenungkan segala yang terjadi. Dia merindukan Andreas, namun dia juga merasa bingung dengan apa yang seharusnya dia lakukan. Apakah keputusan mereka untuk mengambil jarak adalah hal yang benar? Ataukah mereka justru telah membuat kesalahan besar?

Andreas, di sisi lain, juga merasakan hal yang sama. Dia mulai meragukan keputusannya, merasa seolah-olah dia telah mengkhianati perasaannya sendiri. Dia sering terjaga di malam hari, bertanya-tanya apakah dia telah mengambil langkah yang salah.

Waktu terus berjalan, dan meskipun mereka masih peduli satu sama lain, jarak yang mereka ciptakan mulai menggerogoti hubungan mereka. Perasaan yang dulu begitu kuat kini mulai memudar, digantikan oleh keraguan dan rasa sakit yang perlahan-lahan tumbuh.

Di suatu sore yang mendung, Andreas akhirnya mengumpulkan keberanian untuk menghubungi Brianna. Dia merasa bahwa mereka tidak bisa terus seperti ini—bahwa mereka harus memutuskan apakah akan memperjuangkan hubungan ini atau melepaskannya.

Andreas mengirim pesan singkat kepada Brianna, meminta untuk bertemu di taman sekolah setelah jam pelajaran selesai. Brianna setuju, meskipun hatinya penuh dengan ketidakpastian.

Saat mereka bertemu, suasana terasa berbeda. Angin sepoi-sepoi berhembus, membawa serta aroma hujan yang akan turun. Brianna dan Andreas duduk di bangku yang sama di mana mereka biasa berbicara, tapi kali ini mereka merasa lebih jauh daripada sebelumnya.

"Brianna," Andreas memulai dengan suara lembut. "Aku udah banyak mikir belakangan ini. Tentang kita, tentang semua yang terjadi."

Brianna menatap Andreas dengan mata yang penuh harap, meskipun dia tahu bahwa apa yang akan dia dengar mungkin bukanlah yang dia inginkan. "Aku juga, Andreas. Aku nggak bisa berhenti mikirin kita."

Andreas menghela napas, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk mengatakan apa yang harus dia katakan. "Aku sayang sama kamu, Bri. Tapi aku nggak yakin kita bisa terus seperti ini. Aku nggak mau kita saling menyakiti, dan aku nggak mau kamu terluka karena hubungan ini."

Air mata mulai mengalir di pipi Brianna. Dia tahu bahwa ini adalah akhir, tapi dia tidak ingin percaya bahwa semuanya akan berakhir seperti ini. "Andreas, aku juga sayang sama kamu. Aku mau kita terus bersama, tapi kalau kamu merasa ini yang terbaik, aku... aku akan menerimanya."

Andreas merasakan hatinya hancur melihat Brianna menangis, tapi dia tahu bahwa ini adalah keputusan yang harus dia buat. "Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk kita, Bri. Tapi aku percaya bahwa kalau kita benar-benar ditakdirkan bersama, kita akan menemukan jalan kembali satu sama lain."

Brianna hanya bisa mengangguk, terlalu sedih untuk berkata-kata. Dia tahu bahwa Andreas benar, tapi itu tidak membuat perpisahan ini menjadi lebih mudah. Mereka berdua duduk dalam diam, membiarkan air mata mereka mengalir, menyadari bahwa ini adalah akhir dari sesuatu yang indah namun penuh dengan rintangan.

Di bawah langit yang mendung, Brianna dan Andreas akhirnya memutuskan untuk berpisah, meskipun hati mereka masih saling terikat. Mereka berharap bahwa waktu akan menyembuhkan luka-luka ini, dan mungkin suatu hari nanti, mereka akan bisa menemukan kebahagiaan yang sejati—baik bersama ataupun terpisah.

Namun untuk saat ini, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa cinta mereka, meskipun kuat, belum cukup untuk mengatasi semua tantangan yang ada. Dan dengan itu, mereka mengucapkan selamat tinggal, membiarkan perasaan mereka menjadi kenangan yang akan selalu mereka bawa di dalam hati.

Percikan BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang