CHAPTER 02

167 24 3
                                    

Xiao Zhan belum bisa merangkai percakapan yang akrab dan menyenangkan bersama sang nenek dan kedekatan mereka pun sama sekali belum terjalin. Lagi pula, masih ada banyak waktu tersisa selama liburan untuk menciptakan banyak momen dalam keluarga barunya. Jadi ia memilih untuk segera mundur dari hadapan Nenek dan memasuki kamar yang ditunjukkan seorang pelayan.

"Katanya dulu ini kamar ibumu," pelayan itu berkata, tersenyum pada Xiao Zhan. Usia pelayan itu belum terlalu tua dan terlihat ramah. Xiao Zhan menyimpulkan mungkin dia belum terlalu lama bekerja di rumah besar ini, dan hanya mengetahui sedikit dari apa yang pernah terjadi. Itu pun mungkin hasil menguping pembicaraan Nenek.

Xiao Zhan terkesiap sejenak. Dia berdiri di depan pintu kayu coklat tua yang mengeluarkan aroma khas.

"Oh, jadi Ibu tidur di sini selama masa mudanya?" ia bergumam pada diri sendiri, menggaruk dagu dengan dua jari.

"Silakan beristirahat. Anggap saja rumah sendiri." Pelayan itu lagi-lagi tersenyum ceria dan berbalik pergi.

Ketika Xiao Zhan masuk ke dalam kamar, koper dan ranselnya sudah diletakkan di atas karpet tebal dekat tempat tidur. Sepertinya kamar ini dibiarkan kosong dalam waktu lama. Aromanya menjelaskan itu. Wewangian yang dipasang dan jendela terbuka ke halaman mengurangi aroma apak dan lembab. Keseluruhan kamar luas ini cukup bersih, begitu pula perabotannya. Tidak banyak barang selain ranjang, lemari, rak pajang, meja tulis, meja rias, dan sofa kecil berbantal dengan meja kopi bundar. Satu bingkai besar dari kayu berisi foto Ibu selagi muda adalah benda yang paling menarik perhatian Xiao Zhan. Dia mengagumi kecantikan dan keanggunannya. Serasa dia tengah memandangi foto seorang putri bangsawan.

Wah, keluarga kakek nenek sepertinya lumayan juga, pikir Xiao Zhan mengingat luas rumah dan juga halaman di sekitarnya. Bahkan setelah kakek tiada, Nenek masih mempekerjakan pelayan dan tukang kebun. Sepertinya mereka punya bisnis yang bagus. Tapi kenapa Ibu tidak pernah menceritakan tentang mereka. Yang lebih mengejutkan lagi adalah adik ibunya yang bernama Wang Yibo. Bisa-bisanya Ibu yang anggun dan berbudi pekerti luhur punya saudara seaneh itu.

Menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Xiao Zhan akhirnya duduk di ranjang, kemudian membaringkan tubuhnya yang lelah.

Aahh nyaman sekali, batinnya.

Ini kamar Ibu. Dia merasa dekat dengan Ibu walaupun nyatanya hanya kenangan. Matanya terpejam menikmati keheningan rumah itu. Lokasinya yang cukup jauh dari jalan raya dan rumah tetangga membuat suasananya tenang. Beberapa lama ia seperti itu hingga tanpa terasa ia pun jatuh dalam tidur yang lelap.

Sejam kemudian dia dikejutkan oleh suara-suara berisik dari kamar lain yang berseberangan dengannya. Kemudian ada rentetan gerutuan. Linglung, Xiao Zhan duduk di tepi ranjang, menggosok matanya.

Ada apaan, sih?

Dia ke kamar mandi untuk mencuci muka. Saat itu matahari hampir terbenam menjadikan kamarnya bernuansa kekuningan. Sinar matahari sore masuk melalui jendela yang masih terbuka, memperlihatkan hijaunya dedaunan di ranting dan dahan pohon.

Xiao Zhan membuka pintu sedikit, celingukan sekian detik untuk mencari tahu apa yang terjadi.

"Hai, sedang mengintip, ya?"

Suara seorang pria membuat Xiao Zhan menoleh ke sisi kanan seberang ruangan di mana ia melihat lorong selebar satu meter yang menembus langsung ke taman belakang. Tidak jauh dari pintu kamar yang dimasuki wanita jadi-jadian tadi. Di lorong itu ia melihat seorang pria berdiri bersandar, menoleh ke arahnya dengan mata menyipit.

Summer FeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang