9

85 26 1
                                    

Tidak disangka kalau perdana menteri yang selalu ditakuti dan begitu hebat dalam peperangan malah pria bengkok penyuka sesama jenis. Tapi Lamia tidak pernah salah pada dugaannya. Pria ini seharusnya bukan pria seperti itu. Lamia harus bertaruh pada keberuntungannya.

Dengan gaya gemulai menggoda, dia meraih wajah Constantine dan segera bersuara lembut. "Yang Mulia, anda benar-benar menginginkan saya. Baiklah, kalau begitu malam ini—"

"Tunggu!" cegah Constantine yang segera melempar Lamia ke ranjang. Dia berdiri dengan wajah agak tidak senang. "Aku akan tidur di kamar lain." Dan pria itu pergi dengan setengah berlari. Itu membuat Lamia segera mengelus dadanya dengan lega. Senyum membingkai wajahnya. Sepertinya dia memang tidak salah.

Lamia yang sudah mendapatkan kebebasannya segera bergerak pergi dari kamar yang dipenuhi dengan aroma Constantine itu. Entah apa yang disemprotkan pria itu di ruangan itu, tapi aromanya sungguh mengganggu. Begitu mendominasi seperti orangnya.

Kembali ke kamarnya, Lamia sudah masuk dan menemukan Fay yang segera datang mendekat padanya. Gadis itu dengan gemetar berdiri di depannya dan memeriksa tubuh Lamia, berpikir mungkin sang perdana menteri menyiksa kaisar muda itu.

Lamia meraih bahu Fay, menghentikannya. Senyuman diberikan pada pelayannya. "Aku tidak apa-apa. Dia tidak melakukan apa pun."

"Sungguh, Yang Mulia?"

"Ya. Aku tidak berbohong."

Fay mengelus dada kemudian. Dia bergerak ke meja dan meraih cangkir, kemudian menuangkan air ke cangkir lalu menyerahkannya ke depan Lamia. "Minumanlah, Yang Mulia."

Lamia mengambil cangkir itu dan segera menenggak habis isinya. Dia kemudian duduk di ranjangnya dan Fay duduk di sebelahnya. Memijit pelan bahu kaisar muda itu dengan lembut. Lamia yang merasakan pijatan lembut segera mendesah beberapa kali. Rasanya sungguh nyaman, andai dia bisa hidup seperti ini setiap saat.

Saat sibuk dengan rasa tangan Fay, aroma khas yang baru pertama dia cium aromanya segera mengusik ketenangan Lamia. Dia mengambil tangan pelayannya dan mulai menghidu dengan agak rakus. Membawa hidungnya menggesek tangan itu dan menatap Fay kemudian. Fay menatap ke arahnya dengan senyuman menggoda.

Sebelum salah satu dari mereka angkat suara, pedang sudah lebih dulu mendekat ke depan Fay yang membuat wajah yang tadi memberikan godaan, kini menyatakan teror ketakutan.

Lamia menatap ke arah Constantine yang entah sejak kapan ada di kamarnya. Tanpa pikir panjang, Lamia berdiri dan memegang pedang tajam itu lalu memohon pada Constantine lewat pandangannya.

"Aku pikir kaisar memang menyukai pria. Tapi kau terus menggoda pelayan kecil ini, bukankah ini agak terlalu berlebihan, Kaisar?" Constantine menatap dengan tatapan membara dipenuhi dengan emosi. Seolah ada kecemburuan yang terbakar api kekejian di sana. Mata itu menggambarkan siapnya sang pemiliknya mencabik habis siapa pun yang mengusik ketenangannya.

"Kau salah paham. Aku hanya—"

Suara decakan yang terdengar dari Constantine menghentikan suara Lamia. "Jangan terus memberikan alasan padaku, Kaisar. Pedangku bisa bicara lebih cepat dari suaramu."

Lamia menelan ludah, menutup mata. Pria ini benar-benar tidak masuk akal. Apa salahnya dia menggoda pelayan? Dia kaisar. Bukankah pelayan ada untuknya? Dan bahkan jika pun dia menggoda, apa hubungannya dengan Constantine. Pria ini tidak masuk akal. Memikirkannya saja membuat Lamia sakit kepala.

"Aku akan melakukan apa pun yang kau inginkan. Selama kau tidak membunuhnya," tegas Lamia kemudian. Tangan itu masih memegang pedang. Kalau dia sedikit saja menekan, bukan tidak mungkin tangan itu akan segera meneteskan darah.

"Benarkah? Apa pun?"

Lamia yang mendengar pertanyaan itu segera merasa tercekat. Dia sudah bisa merasakan darah di tubuhnya. Sepertinya Constantine hanya menginginkan kematiannya. Jika dia mengatakan ya sekarang, bukan tidak mungkin pria itu akan langsung mencabik habis tubuhnya.

Fay juga terisak mendengarnya, memberikan gelengan agar kaisar tidak menyetujuinya.

Tapi nyawa Fay di atas segalanya. Mereka bukan sekedar majikan dan pelayan. Mereka teman. Mereka berjuang di pengasingan bersama. Tumbuh bersama dan melawan segalanya bersama. Mana mungkin dia akan rela membiarkan Fay mati di depan matanya saat dia sendiri memiliki cara menyelamatkannya.

Lamia mengangguk kemudian dengan tekad bulat. "Ya. Apapun."

Constantine yang mendengarnya menarik pedangnya. Dia melakukannya dengan pelan dan tidak langsung menariknya. Karena kalau dia langsung melakukannya, goresan luka tidak bisa terhindarkan. Pedang itu kembali ke sarungnya. Constantine maju dan meraih dagu Lamia. Membawanya mendongak. "Sungguh kaisar Severance memang mencintai wanitanya."

Lamia mengangkat pandangan keberatan. "Aku tidak ...." Lamia menghentikan suara di tengah kerongkongan. Tidak bisa melanjutkan karena penolakan akan apa yang dipercayai Constantine malah akan membawanya pada pertanyaan lain pria itu. Yang tentu saja lebih tidak menyenangkan untuk ditebak. Jadi dia diam seolah tidak bisa lagi mengelak.

"Seorang pelayan tidak akan bisa mengokohkan tahtamu, Kaisar. Jadi kau harus memilih beberapa selir milik menteri atau beberapa wanita dari kalangan bangsawan. Tenang saja, aku akan menyeleksinya untukmu. Sepertinya aku sangat mengenal yang kau suka."

"Apa?"

"Pelayan!" seru Constantine dengan suara keras menekan.

"Ya, Yang Mulia?" pelayan memberikan kepala menunduk menunggu perintah.

"Umumkan ke seluruh negeri, kaisar akan mengangkat selir kekaisaran. Semua wanita yang ada di umur layak menikah diperbolehkan mendaftarkan diri."

"Perdana Menteri, tunggu—"

"Kenapa, Kaisar? Apa tidak tega berpisah dengan pelayan kecilmu itu?" Constantine melirik dengan agak ganas.

"Bukan begitu maksudku."

"Pengawal! Usir wanita yang sudah membuat kaisar linglung. Dia tidak pantas di sisi kaisar."

Dua pengawal segera datang meraih tangan pelayan itu dan menyeretnya pergi. Usaha untuk menyelamatkan pelayannya sia-sia saat pedang sang perdana menteri terarah ke lehernya, memberikan pernyataan kalau saat ini Constantine sama sekali tidak peduli dengan hidup dan mati sang kaisar. Selama itu memuaskan kemarahannya.

Melihat mata membunuh itu, Lamia dengan bijak memilih mundur. Saat ini bukan waktu yang tepat berdebat dengan Constantine. Jika dia tetap bersikeras, bukannya berhasil menyelamatkan, dia maah akan membawa mereka berdua dalam kematian naas yang tidak terbayangkan. Jadi Lamia mundur dan tidak lagi bergerak.

"Kaisar, kau memiliki pesanan untuk wanita yang harus kusiapkan?" tanya Constantine.

Lamia bergerak ke jendela, mendesah dan memandang keluar sana. Cahaya rembulan yang bersinar terang membuat wajah itu seperti memiliki cahaya abadinya sendiri. Kecantikan indah yang seharusnya tidak terbungkus dalam sosok tubuh pria itu membuat Constantine begitu hampir merasa dirinya gila. Apa yang dia pikirkan tentang pria muda itu? Bagaimana dia bisa berakhir begini tergila-gilanya pada sosok yang harusnya tidak pernah mempengaruhinya. Sepertinya dia membutuhkan wanita.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Lady Emperor (RAB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang