11

68 21 2
                                    

Lamia meminum teh itu pelan-pelan. Menatap penuh penasaran pada perlakuan baik pria pembunuh di depannya. Tapi dia menggigil kedinginan, membuatnya tidak bisa lagi menatap ke Constantine. Dia sibuk menghangkat diri dan menyalahkan dirinya. Tadi dia begitu tegar pada hujan dan dingin yang menyelimutinya. Sekarang dia seperti tikus kecebur air es.

"Siapkan bak mandi. Air hangat," perintah Constantine yang melihat tubuh itu benar-benar menggigil. Constantine hendak mendekat, menyentuh Lamia dan mungkin akan membuatnya lebih baik.

Tapi sebelum gerakan itu datang dari Constantine, Lamia lebih dulu berdiri dan menatap ke arah pria itu. "Aku akan mandi sekarang. Kau bisa pergi dan melanjutkan yang sedang kau lakukan. Aku tidak akan mengganggumu lagi dan terima kasih sudah membawaku kembali."

Constantine mengangkat tangan, meraih bibir menggigil itu dengan pandangan lembut yang sebelumnya tidak pernah diberikan pria itu pada Lamia. Wajah mereka bertemu dengan satu khawatir dan satu penasaran.

"Yang Mulia?" Lamia yang tidak bertahan dalam pandangan ambigu seperti itu mengangkat suara, mempertanyakan apa yang salah. "Ada apa? Ada ada sesuatu di wajahku?"

Constantine mendengarnya terdiam sejenak, masih sibuk memandang dan kemudian mendesah. "Tidak. Tidak ada. Aku hanya heran ada seorang pria yang bisa begitu mudah menggugah keinginanku untuk melindungi."

Lamia batuk tersedak. Syukur dia tidak sedang meminum tehnya. Kalau sampai dia sedang menenggak teh itu, dia akan mati karena tersedak. Apa dia membuat Constantine salam paham selama ini tentang musuh yang tiba-tiba menjadi kekasih? Sepertinya Constantine memang memperlakukannya berbeda sejak awal mereka berjumpa. Pria itu memberikan pengampunan yang tidak pernah diberikan orang lain. Bahkan Constantine juga memperlakukannya dengan perlakuan yang agak khusus. Bukankah itu menandakan sesuatu?

Lamia menggeleng. "Yang Mulia, anda bercanda. Kalau aku membuatmu khawatir, di sini aku katakan, aku mohon ampun."

"Tidak sama sekali. Bukan candaan dan kekhawatiranku, aku menyukainya. Kau membangkitkan perasaan yang sudah lama mati. Sepertinya aku memang punya hati."

"Yang Mulia, aku pria," Lamia mengingatkan. Mungkin sejenak Constantine lupa karena wajahnya. Tapi jawaban selanjutnya pria itu mencengangnya telinganya.

"Tidak masalah. Selama kau bisa membuat aku merasakannya, aku tidak peduli dengan jenis kelamin." Constantine sudah mendekat, tangannya sudah meraih leher Lamia dan jelas akan segera memaksakan ciuman yang di mana Lamia sama sekali tidak berniat mengarah ke sana.

Pria di depannya jelas sakit. Tidak peduli meski dia pria? Itu bukan pernyataan yang akan membuat Lamia bersuka cita. Dia malah bergidik ngeri membayangkan obsesi pria itu akan sampai ke tahap menggilakannya. Semakin Constantine tertarik padanya, semakin kecil kemungkinan untuk melarikan diri. Belum lagi jenis kelamin yang dia sembunyikan. Cepat atau lambat pria itu akan menemukannnya. Tidak mungkin selamanya bisa dia sembunyikan.

"Yang Mulia, maaf saya mengganggu," suara Cullen yang datang mendekat sudah membuat Constantine berhenti.

Lamia menyembunyikan desahan leganya. Cullen menyelamatkannya. Setidaknya dia tidak perlu melawan secara pribadi pria itu yang akan membuat hubungan mereka menjadi renggang. Saat ini menjilat Constantine adalah satu-satunya cara bertahan hidup. Lamia belum boleh mati.

"Tahu mengganggu seharusnya kau tidak datang!"

Wajah Cullen agak pucat. Kepalanya menunduk lebih dalam agak menyesal.

"Ada apa?" tanya Constantine kemudian. Tahu kalau segalanya sudah kacau. Dan Cullen biasanya bukan orang yang kurang ajar dan datang tanpa ada yang benar-benar penting.

"Laporan dari perbatasan. Beberapa orang tidak dikenal ada di antara para pengungsi yang membuat penjaga di sana agak kewalahan menemukan mereka. Jika ditemukan maka mereka akan bunuh diri. Beberapa bahkan sudah berada di area istana dan takutnya mereka sedang mengincar sesuatu." Cullen melirik ke arah Lamia.

Constantine juga melakukan hal yang sama.

Lamia yang mendapatkan tatapan dari dua pria itu segera menunjuk diri. "Aku? Sama sekali tidak. Aku tidak terhubung dengan apa pun yang kau katakan tadi. Aku diawasi seharian penuh, apa kau pikir ada celah untuk mengirim kabar atau meminta bantuan, jika bantuan memang ada."

"Sungguh?" Constantine meragukannya.

"Baiklah, kalau kau tidak percaya maka akhiri saja hidupku. Jika memang kau merasa aku ancaman."

Tangan Constantine segera meraih dagu Lamia, menarik wajah itu dan membuat Lamia meringis kesakitan. "Jangan coba keberuntunganmu, Severance. Kau tahu kalau aku masih bisa membunuhmu kalau aku mau. Aku hanya tidak sedang ingin mengotori tanganku sendiri."

Wajah Lamia menatap dingin dengan kesal. "Jika kau memang tidak sedang ingin mengotori tanganmu, maka kau harusnya percaya padaku. Pilihanmu hanya ada dua. Membunuhku atau percaya padaku. Semua terserahmu, aku tidak memaksa."

Wajah itu lekat dalam menatap, tahu kalau dia akan membuat jejak luka di wajah seputih salju itu, Constantine akhirnya memutuskan melepaskannya. Ada jejak bersalah di wajahnya saat dia benar-benar menemukan bekas cengkramannya.

Lamia yang kesal segera meletakkan teh itu ke meja bundar dan meninggalkan mereka berdua. Dia hanya menatap Constantine dengan dingin dan berlalu pergi. Masuk ke kamar mandinya. Dia meminta pelayan meninggalkannya. Setelah yakin tidak akan ada yang mengganggunya, Lamia meraih pakaiannya dan bertelanjang. Kain putih membungkus rapat tubuhnya segera dia raih ujungnya yang ada di bawah ketiak, kemudian dia melepaskannya perlahan. Membuka lilitan kain putih itu dan setelah kain terakhir terlepas, Lamia mendesah dengan lega. Napasnya mulai agak teratur dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya.

Dia harusnya sudah lama terbiasa dengan kain itu yang mengikat erat dadanya. Tapi dia selalu bisa merasakan ketidaknyamanan setelah membukanya. Andai saja dia bisa tidak mengenakannya, dia akan lebih memilih hal tersebut. Hanya saja dia tahu, seumur hidup dia mungkin memang harus memakainya. Meski itu memang agak mengekang dan tidak nyaman, tapi kain inilah satu-satunya yang menyelamatkan hidupnya.

Lamia masuk ke dalam air, membiarkan air menutup seluruh tubuhnya dan hanya menyisakan bagian leher ke atas. Saat Lamia sedang memejamkan mata menikmati air hangat memijitnya pelan, suara pintu yang coba dibuka mengejutkannya. Dia melirik ke belakang dengan wajah penuh kekhawatiran. Takut perdana menteri akan mendobrak pintu itu hanya sekedar untuk memastikan seperti apa tubuh Lamia dibalik pakaiannya.

Karena Lamia selalu merasakan mata Constantine setiap menatapnya selalu memberikan tatapan yang seolah ingin mengelupasi seluruh bagian di tubuhnya yang menghalanginya dalam memandang Lamia yang telanjang. Tatatapan itu mengerikan, bahkan meski Constantine menatapnya dengan wajah tersenyum. Lamia tetap merasakan tidak nyaman. Lamia lega saat tahu Constantine tidak coba mendobrak masuk. Pria itu sepertinya tahu kalau Lamia membutuhkan waktu sendiri mengingat betapa kerasnya gadis itu tersinggung tadi olehnya. Suara langkah menjauh terdengar. Dan tidak ada suara lain yang menunjukkan Constantine mengemukakan permintaan maafnya.

Memangnya pria itu berhak meminta maaf padanya? Itu terlalu mudah dan Lamia tahu sosok seperti Constantine tidak akan mudah mengatakan maaf.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 5 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lady Emperor (RAB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang