Dinner telah berlalu.
Ibu Jayden pergi dengan mobilnya sendiri. Akan langsung terbang ke Singapura malam ini. Sementara Jayden dan Asha sudah duduk bersebelahan di mobil yang dikemudikan laki-laki itu dalam keheningan yang memenuhi udara.
Jayden fokus pada kemudi, pandangan lurus ke depan. Sementara pandangan Asha tertuju keluar jendela, melihat lalu lalang kendaraan, lampu-lampu jalan yang berkelebat, dan orang-orang yang hanya sekilas tertangkap dalam pandangannya, seperti bayang-bayang yang berlalu begitu saja.
Jayden menghela napas pelan. Mereka terjebak dalam kemacetan. Tangannya mengetuk-ngetuk setir dengan ritme yang nyaris tak terdengar. Sudut matanya diam-diam melirik Asha yang mempertahankan pandangannya ke luar jendela.
Kepalanya bersandar — lebih terlihat terkulai lemah — pada jok. Sampai Jayden mengira perempuan itu tertidur jika dia tidak sedikit mencondongkan tubuhnya untuk melihat wajah perempuan itu yang... ya matanya masih terbuka.
"Lo nggak cerita?" Jayden memecah hening.
"Soal apa?" Asha merespons, namun kepalanya tidak menoleh.
"Nggak sengaja ketonjok gue. Siku lo jadi memar."
Kepala gadis itu menoleh. Tatap mereka bertemu. "Kenapa aku harus cerita?"
Jayden mengedikkan bahu sekenanya. "Siapa tahu aja kan. Masih dendam sama gue perkara itu. Terus mau buat gue diomelin nyokap."
Asha diam sesaat. Lalu mulutnya terbuka, "Ah, iya. Harusnya aku cerita ya," suaranya lebih terdengar sarkas. "Seharusnya kamu ingetin dari awal. Kenapa baru sekarang?"
"Gue pikir lo bakal inisiatif sendiri," balas Jayden santai.
Asha mendengus kecil. "Sayangnya aku bukan orang tukang ngadu."
Jayden menurunkan bibir bawah. Jelas mengejek. "Bukan tukang ngadu gimana," dia kembali melajukan mobil, "orang kerjaannya tukang laporin murid-murid ke guru BK."
Asha mengernyit. "Harus spesifik dong. Yang aku laporin itu murid-murid bandel kayak kamu," dengusnya tidak terima. "Kesannya semua murid yang nggak bermasalah pun aku laporin."
"Ya, ya, ya," Jayden mengangguk-angguk malas. "Intinya lo tukang ngadu kan?"
"Kalau untuk yang itu beda lagi lah. Itu udah jadi tugas aku."
"Tugas kok jadi penjilat."
"Apa?" Asha mengerutkan dahi. Tidak percaya dengan Jayden yang selalu mengatainya begitu. "Kamu emang gini ya? Memandang orang yang berusaha menaati aturan adalah penjilat? Harusnya kamu yang sadar diri. Kamu yang bermasalah kok ngatain orang penjilat." Matanya berkilat-kilat marah.
"Gue nggak melarang lo untuk selalu taat pada aturan. Gue cuma heran aja, kok lo mau-mauan jadi babu guru kayak gitu? Ikut campur ke dalam masalah orang. Laporin mereka...," Jayden menjeda kalimatnya. Menghela napas kasar. Seolah ada sesuatu yang memang sangat mengganggu pikirannya.
"Lo tahu nggak resikonya akibat lo yang suka cepuin mereka?" Jayden menoleh sekilas, "dari orang-orang yang lo cepuin itu, di antaranya ada beberapa orang yang jadi berkonflik besar dengan orangtuanya. Ada orang yang masalahnya terbongkar dari yang seharusnya gara-gara lo aduin."
Asha menggertakkan bibir. Marah, kesal, sampai rasanya tiba-tiba ingin menangis karena Jayden terkesan memojokannya. "Kenapa aku yang disalahin?" bahkan suaranya sedikit bergetar. "Mereka yang bermasalah, kenapa aku yang disalahin?" ulangnya lebih vokal. "Kalau mereka nggak mau itu terjadi seharusnya mereka nggak berbuat onar dong. Aku cuma menjalankan tugas."
YOU ARE READING
Satu Atap
Teen FictionSebagai murid yang ditugaskan menertibkan anak-anak bandel, Jayden merupakan musuh terbesar bagi Asha. Laki-laki itu begitu berandalan, liar, serampangan hingga membuat Asha kerapkali migrain. Di sekolah saja sudah sangat lelah berhadapan dengan lak...